Pengembangan Desa dan Kota

Advertisements

 Sebagian dari kalian tentu ada yang tinggal di wilayah perdesaan dan ada pula yang tinggal di perkotaan. Bagi kalian yang tinggal di pedesaan selalu melihat fenomena pemanfaatan lahan oleh petani dengan menanami berbagai jenis tanaman, seperti padi, jagung, dan cabai. Sebaliknya, bagi kalian yang tinggal di wilayah kota menjumpai tempat-tempat yang padat hunian penduduk dengan pemanfaatan lahan sebagai pusat bisnis dan retail, lahan terbuka, pergudangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Advertisements

Di mana kalian tinggal? Di wilayah pedesaan atau perkotaan? Tentu kedua wilayah tersebut memiliki corak yang berbeda. Secara umum, persentase penduduk yang tinggal di perdesaan dan perkotaan mengalami keadaan terbalik. Persentase penduduk yang tinggal di perdesaan mengalami penurunan, sedangkan penduduk di perkotaan mengalami peningkatan. Peningkatan penduduk yang tinggal di perkotaan diprediksi sebagai berikut.

Tahun Kota (%) Desa (%)
201049,8 50,2
201553,3 46,7
202056,7 43,3
202560,0 40,0
203063,4 36,6
203566,6 33,4

tabel diatas tersebut menggambarkan peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan, sedangkan penduduk di wilayah perdesaan mengalami penurunan. Dinamika perubahan penduduk yang demikian tentu akan berdampak terhadap wilayah perkotaan. Wilayah perkotaan akan semakin meluas dan sebaliknya wilayah perdesaan semakin berkurang luasnya. Artinya, semakin banyak fasilitas perkotaan yang perlu disediakan, seperti pasar tradisional dan modern, ruang terbuka umum dan privat, tempat-tempat bermain, rumah sakit, dan sekolah. Bagaimana dengan wilayah tempat kalian tinggal? Apakah fenomena yang sama juga terjadi?

1. Pengembangan Wilayah Desa dan Perdesaan

a. Pengertian Desa dan Perdesaan

 Desa secara harfiah berasal dari bahasa India, yaitu swadesi yang artinya negeri asal, tempat asal, atau tanah leluhur. Pengertian desa seringkali diasosiasikan dengan sistem sosial terkecil yang terletak di wilayah yang jauh dari perkotaan. Definisi mengenai desa sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, atau hak tradisional yang berlaku.

Advertisements

Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Endah, 2020; Maryani & Waluya, 2008).

Selain definisi desa secara yuridis, berkembang pula definisi-definisi lain tentang desa yang dikemukakan oleh beberapa ahli geografi dan perkotaan.

Advertisements

• Menurut Bintarto, desa adalah wujud geografis yang muncul akibat unsurunsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di suatu tempat dalam hubungannya dengan wilayah lain.
• Menurut Finch, desa adalah kesatuan lokasi yang menjadi tempat tinggal dan bukan merupakan pusat perdagangan (Suhardjo, 2008).

Berdasarkan konsep desa yang telah dikemukakan, desa merupakan unit geografis terkecil ditandai dengan sistem sosial yang bersifat tradisional, memiliki potensi alam yang beragam, dan aktivitas ekonomi yang didominasi oleh kegiatan pertanian (agraris). Apakah pengertian tersebut sesuai dengan kondisi desa tempat kalian tinggal atau yang kalian lihat? Tentu sangat menarik untuk mencermatinya.

Kegiatan Utama di Pedesaan.

b. Karakteristik Desa

Setiap wilayah memiliki karakteristik yang membedakannya dengan wilayah lain. Begitu pula dengan desa. Ada beberapa unsur yang membedakan wilayah desa dengan wilayah kota, antara lain sebagai berikut (Kustiwan, 2014).

1) Sistem sosial

 Sistem sosial masyarakat desa erat kaitannya dengan kebudayaan tradisional, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Hal ini membuat segala bentuk kegiatan dan hukum.

2) Hubungan kekerabatan

 Masyarakat desa memiliki pola interaksi dan hubungan kekerabatan yang kuat sehingga segala bentuk permasalahan umumnya akan selalu diselesaikan dengan asas kekeluargaan.

3) Basis kegiatan masyarakat

 Kegiatan masyarakat desa identik dengan sektor ekonomi primer yang berusaha mengelola sumber daya secara alami. Basis kegiatan masyarakat desa meliputi pertanian, peternakan, dan perikanan.

4) Hubungan masyarakat

 Hubungan antar masyarakat desa cenderung masih sangat erat, ditandai dengan sistem gotong royong yang menjadi salah satu ciri khas dari kegiatan-kegiatan di desa. Hal ini karena masyarakat desa hidup berdampingan dan menganggap tetangganya sebagai keluarga.

5) Struktur data kependudukan

 Kawasan perdesaan memiliki kepadatan penduduk yang rendah, dengan rasio perbandingan yang relatif besar antara manusia dan luas lahan. Artinya, lahan di desa memiliki luas/daya tampung yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

 Sebagai suatu unit geografis, setiap desa memiliki unsur vital yang menentukan perkembangan desa. Ada tiga unsur vital yang terdapat pada sebuah desa, yaitu daerah, penduduk, dan tata kehidupan. Ketiga unsur tersebut diuraikan singkat sebagai berikut.

1) Daerah

 Daerah secara umum terdiri atas lokasi, luas, dan garis yang membatasi lingkungan geografis setempat. Daerah desa tersusun dari lahan-lahan produktif dan nonproduktif serta berbagai bentuk pengelolaannya. Umumnya lahan di pedesaan dikelola menjadi lahan pertanian dan juga permukiman bagi masyarakat petani.

2) Penduduk

 Penduduk adalah sekumpulan individu yang menempati ruang wilayah geografis tertentu. Penduduk meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran, dan mata pencaharian.

3) Tata kehidupan

 Tata kehidupan secara umum berkaitan dengan pola interaksi antar masyarakat dan kebudayaan di suatu wilayah. Tata kehidupan desa identik dengan kerukunan, gotong royong, dan berpegang teguh pada nilai tradisi dan budaya wilayah setempat (Rosida, et al 2017; Bintarto, 1977).

c. Klasifikasi Desa

 Indonesia memiliki jumlah desa yang sangat banyak. Secara nasional, ada 74.961 desa yang beragam keadaannya. Ada desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Ada pula desa mandiri, berkembang, dan tertinggal. Oleh karena itu, perlu dilakukan klasifikasi agar dapat dikembangkan lebih optimal.

Berdasarkan tingkat kemajuannya, ada tiga jenis desa, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Ketiga jenis desa tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Desa mandiri

 Desa mandiri atau disebut desa sembada adalah desa maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Desa ini dicirikan dengan:

• ketersediaan dan akses pelayanan dasar yang memadai,
• infrastruktur yang baik, aksesibilitas yang tidak sulit, serta
• pelayanan umum yang bagus dan penyelenggaraan pemerintahan yang sudah sangat baik.

Desa mandiri memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) > 0,8155. Peningkatan jumlah desa mandiri dapat menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi, bahwa telah terjadi peningkatan jumlah desa mandiri sebanyak 174 desa yang awalnya pada tahun 2015 sebanyak 6.064 menjadi 6.238 desa pada tahun 2022 (Mahrofi, 2022). Beberapa contoh desa yang termasuk kategori mandiri adalah Desa Julubori (Kabupaten Gowa), Desa Lanci Jaya (Kabupaten Dompu), Desa Bululawang (Kabupaten Malang), Desa Reksosari (Kabupaten Semarang), dan Desa Melung (Kabupaten Banyumas).

2) Desa berkembang

 Desa berkembang atau disebut desa madya merupakan desa potensial yang nantinya mampu menjadi desa maju. Desa ini memiliki potensi sumber daya yang cukup memadai, misalnya ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/ transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, tetapi belum dapat mengelolanya secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Desa berkembang memiliki IDM ≤ 0,7072 dan > 0,5989. Desa berkembang yang ada di Indonesia tercatat sampai tahun 2022 sebanyak 33.878 desa. Desa-desa yang termasuk kategori ini, antara lain Desa Pesanggrahan (Kabupaten Mojokerto), Desa Rejoso Kidul (Kabupaten Pasuruan), Desa Kedung (Kabupaten Tangerang), dan Desa Langkura (Kabupaten Jeneponto). 

3) Desa tertinggal

Desa tertinggal atau disebut desa pramadya merupakan desa yang memiliki potensi sumber daya, seperti pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/ transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, tetapi belum atau kurang mampu mengelolanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa serta kualitas hidup manusia. Desa tertinggal mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.

Desa tertinggal memiliki IDM ≤ 0,5989 dan > 0,4907. Desa tertinggal yang terdapat di Indonesia tercatat sebanyak 9.202 pada tahun 2022. Desa yang termasuk kategori ini, antara lain Desa Leuwibalang (Kabupaten Pandeglang), Desa Dolok Raja (Kabupaten Samosir), Desa Iwoikondo (Kabupaten Kolaka Timur), Desa Warambe (Kabupaten Muna), dan Desa Jareng (Kabupaten Pidie).

Berdasarkan pengukuran Indeks Pembangunan Desa (IPD) di Indonesia, tingkatan desa terbanyak didominasi oleh desa berkembang, yaitu 73,40%, diikuti desa tertinggal 19,17%, kemudian desa mandiri 7,43% (BPS, 2019). Berikut merupakan persentase desa berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019.

Persentase Desa Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2019

 Selain berdasarkan tingkat kemajuannya, desa juga diklasifikasikan menurut tingkat pembangunan dan kemampuan wilayahnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Berdasarkan tingkat pembangunan dan kemampuan wilayahnya, desa diklasifikasikan menjadi desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.

1) Desa swadaya

 Desa swadaya adalah suatu wilayah desa yang masyarakatnya sebagian besar memenuhi kebutuhan dengan cara mengadakan sendiri. Desa ini umumnya terpencil dan masyarakatnya jarang berhubungan dengan masyarakat luar. Proses kemajuannya sangat lambat karena kurang berinteraksi dengan wilayah lain atau bahkan tidak sama sekali. Salah satu desa yang termasuk kategori swadaya ialah Desa Kanekes. Desa ini terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini didiami oleh suku Badui, salah satu suku bangsa dengan corak keunikan budaya atau tradisinya.

Suku Badui pada kenyataannya merupakan suku yang tidak ingin terkontaminasi dengan budaya luar untuk menjaga tradisi yang sudah menjadi habitus dalam menjalani perannya dalam masyarakat, misalnya terkait penggunaan handphone, televisi, penerangan listrik, dan sebagainya (Bahrudin & Zurohman, 2021). Suku Badui memercayai bahwa keberadaan mereka untuk menjaga keseimbangan alam, mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci (taneuh titipan) yang menjadi pusat bumi. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang senantiasa menjaga sungai dari pencemaran lingkungan serta kelestarian hutan.

Desa Swadaya

2) Desa swakarya

 Desa swakarya adalah suatu wilayah desa yang keadaannya sudah lebih maju dibandingkan desa swadaya. Masyarakatnya sudah mampu menjual kelebihan hasil produksi ke daerah lain di samping untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Interaksi sudah mulai nampak, walaupun intensitasnya belum terlalu sering. Di berbagai wilayah, masih cukup banyak desa yang termasuk kategori swakarya, salah satunya adalah Desa Kemiren di Kabupaten Banyuwangi.

Desa Swakarya

 Penduduk Desa Kemiren merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal sebagai suku Osing. Pemerintah menetapkan sebagai cagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa Wisata Suku Osing (Kompas.com). Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama, yaitu gedung kesenian sebagai objek pelestarian kebudayaan dan fasilitas penunjang seperti penginapan dan rekreasi berenang yang bersifat publik.

3) Desa swasembada

 Desa swasembada adalah desa yang sudah mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang dengan wilayah lain (fungsi perdagangan), dan kemampuan untuk saling memengaruhi dengan penduduk di wilayah lain. Dari hasil interaksi tersebut, masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk memanfaatkan sumber dayanya sehingga proses pembangunan berjalan dengan baik (Rosida, et al. 2017). Desa Wonoayu merupakan salah satu desa swasembada yang berada di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa ini menjadi penyokong terbesar kebutuhan daging sapi secara nasional. Sekitar 87% warga Desa Wonoayu mengandalkan hidup dari beternak sapi. Pada bulan-bulan tertentu para pemilik sapi di Desa Wonoayu bahkan akan menggelar kawin massal ternak mereka melalui inseminasi buatan sapi (ppski.or.id).

Desa Swasembada

d. Potensi Desa

 Potensi desa adalah segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki desa untuk dimanfaatkan sebagai penunjang keberlangsungan dan perkembangan desa (Bawono, 2019). Potensi desa juga dapat diartikan sebagai keseluruhan sumber daya yang dimiliki oleh desa dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pemecahan masalah dan pembangunan desa

Potensi desa meliputi tiga aspek utama, yaitu lingkungan fisik, sumber daya manusia, dan kekuatan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Lingkungan fisik (sumber daya alam)

 Potensi fisik dari wilayah desa mencakup keseluruhan kondisi alam, seperti tanah, sumber daya air, iklim, dan hewan ternak.

• Tanah, mencakup lahan pertanian, sumber daya tambang (batuan dan mineral), dan lahan permukiman.
• Sumber daya air, dalam hal ini ketersediaan air untuk aktivitas sehari-hari dan aktivitas ekonomi khususnya irigasi.
• Iklim merupakan komponen esensial dalam mendukung kegiatan pertanian dan perkebunan.

• Hewan ternak, dikelola masyarakat desa sebagai aktivitas ekonominyasehingga hewan ternak merupakan potensi yang dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat desa.

2) Potensi sumber daya manusia

 Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu/interaksi antara daya pikir (akal budi) yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dengan daya fisik (kecakapan atau keterampilan) yang dimiliki masing-masing individu manusia (Malayu dalam Soemarsono, 2018). Sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi sebuah aset yang nantinya mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan/pembangunan sebuah desa. Peningkatan sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui proses perencanaan pendidikan, pelatihan, dan pengelolaan tenaga atau pegawai untuk mencapai suatu hasil optimal. Potensi sumber daya manusia dalam hal ini mencakup masyarakat desa serta kelembagaan desa

3) Kelembagaan desa

 Lembaga atau organisasi desa merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan desa (Yupita & Juita, 2020). Tanpa adanya kelembagaan desa, maka pembangunan infrastruktur tidak mampu dilaksanakan. Lembaga desa bertugas membantu pemerintah desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat

Komponen kelembagaan desa yang berperan penting dalam mendorong kemajuan desa, antara lain sebagai berikut (Budianta, 2010).

• Masyarakat desa, merupakan motor penggerak dalam kemajuan suatu desa melalui berbagai usaha, aktivitas ekonomi, kegiatan sosial yang bersifat gotong royong, dan kegiatan kebudayaan.
• Lembaga sosial, pendidikan, dan organisasi sosial yang dapat memberikan bantuan sosial dan bimbingan secara terpadu untuk pemberdayaan masyarakat.
• Aparatur atau pamong desa, merupakan pihak yang berperan aktif menjaga ketertiban dan keamanan demi kelancaran pemerintahan desa.

 Ditinjau dari potensi fisik dan sosial yang dimiliki desa, terdapat tiga klasifikasi potensi desa, yaitu sebagai berikut (Rosida, et al. 2017).

1) Desa potensi tinggi

 Desa dengan potensi wilayah yang tinggi dicirikan dengan kondisi lahan pertanian yang subur, topografi datar atau agak miring, dilengkapi dengan fasilitas irigasi teknis yang memadai, sumber daya manusia yang produktif, dan kelembagaan desa yang aktif berperan dalam pemberdayaan masyarakatnya. 

2) Desa potensi sedang

 Desa dengan potensi wilayah sedang dicirikan dengan kondisi lahan pertanian yang kurang subur, memiliki sebagian irigasi teknis dan sebagian nonteknis, serta topografi wilayah yang tidak rata.

3) Desa potensi rendah

 Desa dengan potensi wilayah yang rendah memiliki karakteristik lahan pertanian yang tidak subur, topografi wilayah yang berbukit, sumber air sulit diperoleh, dan pertanian yang cenderung bergantung pada curah hujan.

e. Permasalahan Desa

 Selain potensi, desa juga menghadapi permasalahan yang memerlukan pemecahan. Permasalahan desa tersebut perlu diidentifikasi dalam upaya pembangunan wilayah desa.

1) Kondisi desa tertinggal

 Masyarakat yang bertempat tinggal di desa ini memiliki keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik, serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian yang besar dan keberpihakan pembangunan dari pemerintah.

2) Kemiskinan

 Kemiskinan merupakan permasalahan yang sering kali dikaitkan dengan masyarakat desa. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah dalam melakukan pemerataan kesejahteraan harus dimulai dari desa. Fenomena kemiskinan di wilayah desa umumnya terjadi akibat banyaknya masyarakat desa yang hanya menempuh pendidikan dasar. Sementara hanya sedikit lapangan pekerjaan yang mampu menampung tingkat pendidikan tersebut. Dengan demikian, tenaga kerja tamatan pendidikan dasar cenderung terserap ke sektor ekonomi primer seperti agraris/pertanian.

Persentase Tingkat Kemiskinan Tahun 2019-2022

 Persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54%, menurun 0,17% terhadap September 2021 dan menurun 0,60% terhadap Maret 2021. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

3) Minimnya tenaga kerja potensial akibat peningkatan laju urbanisasi

 Daya tarik kota sebagai tujuan urbanisasi mengakibatkan banyaknya tenaga kerja potensial yang berpindah dari desa dan tinggal di kota. Hal ini mengakibatkan minimnya sumber daya manusia potensial sebagai bagian dari pembangunan. Mudahnya akses pasar dan fasilitas yang memadai membuat sebagian masyarakat memiliki meninggalkan desa untuk tinggal di kota (Asariansyah, et al., 2013; Maryani & Waluya, 2008; Syahza & Suarman, 2018). Bank Dunia memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan sebanyak 220 pada tahun 2045. Artinya, urbanisasi di Indonesia senantiasa meningkat dari yang tadinya 56,7% pada tahun 2022 menjadi 70% (Isyanah, 2020).

f. Prinsip Pengelolaan Pembangunan Desa

 Pembangunan desa dilakukan secara holistik dan arif sesuai dengan prinsipprinsip pengelolaan pembangunan desa. Ada empat prinsip pengelolaan pembangunan desa, yaitu sebagai berikut.

• Akuntabilitas, artinya pengelolaan kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
• Transparansi, artinya pengelolaan kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat (Darmoko, 2014).
• Partisipatif, artinya keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
• Berkelanjutan, artinya pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan.

Selain memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan, implementasi pembangunan desa juga memperhatikan elemen penting yang berpengaruh terhadap kemajuan desa. Ada tiga elemen yang berpengaruh terhadap kemajuan desa, yaitu potensi desa, interaksi desa-kota, dan posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju. 

1) Potensi desa

 Ada dua potensi utama desa yang signifikan pengaruhnya terhadap kemajuan, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Desa-desa yang memiliki sumber daya alam besar dan sumber daya manusia yang berkualitas akan memiliki peluang lebih besar dan lebih cepat untuk maju. Sebaliknya desa dengan sumber daya yang terbatas akan banyak menghadapi kendala untuk maju. Contoh Desa Condongcatur, Yogyakarta mengalami kemajuan cepat karena didukung sumber daya alam yang mencukupi dan sumber daya manusia yang berkualitas,

2) Interaksi desa-kota

 Interaksi desa-kota merupakan hubungan timbal balik antara desa dan kota. Interaksi yang intensif antara keduanya ditandai masuknya barang-barang primer dari desa ke kota dan barang sekunder atau tersier dari kota ke desa. Interaksi yang intensif antara keduanya akan memberikan kemajuan bagi desa yang lebih besar.

3) Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju

 Setiap desa berada di antara desa-desa yang lain. Keberadaan desa sekitar penting untuk mendorong kemajuan. Posisi desa terhadap desa lain akan memberikan dukungan aksesibilitas untuk kemajuan yang lebih besar.

Berdasarkan ketiga faktor tersebut, maka praktik pembangunan wilayah tidak dapat diseragamkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan potensi, posisi, dan interaksi yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain.

g. Dinamika dan Arah Pembangunan Desa

Pembangunan wilayah desa merupakan proses yang berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Pembangunan desa telah diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. RPJMN merupakan dokumen strategis yang menjadi acuan resmi rencana pembangunan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pembangunan.

Penyusunan RPJM Desa dilaksanakan dengan memperhatikan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Berikut arah kebijakan pembangunan desa yang sesuai dengan arah kebijakan perencanaan pembangunan kota (Permendesa PDTT No. 21 Tahun 2020).

• Pemenuhan standar pelayanan minimum desa termasuk permukiman transmigrasi sesuai dengan kondisi geografis desa.
• Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa, termasuk di permukiman transmigrasi.
• Pembangunan sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan, dan pembentukan modal sosial budaya masyarakat desa, termasuk di permukiman transmigrasi.
• Pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.
• Pengembangan kapasitas serta pendampingan aparatur pemerintah desa dan kelembagaan pemerintahan desa secara berkelanjutan.
• Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan serta penataan ruang kawasan perdesaan, termasuk di kawasan transmigrasi.
• Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan, termasuk kawasan transmigrasi untuk mendorong keterkaitan desa-kota. Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan termasuk kawasan transmigrasi untuk mendorong keterkaitan desa-kota.

2. Pengembangan Wilayah Kota dan Perkotaan

a. Pengertian Kota dan Perkotaan

Berbeda dengan desa, kota menunjukkan wilayah yang jauh lebih dinamis perkembangannya. Jika di desa fasilitas publik terbatas, sebaliknya di kota justru memiliki fasilitas publik yang lengkap. Di kota banyak tersedia fasilitas kesehatan, pendidikan, sosial, seni, dan lain-lain. Di kota tersedia banyak rumah sakit, klinik, apotek, sekolah, kampus, lapangan olahraga, perbelanjaan, dan masih banyak lagi jenis lainnya.

Pengertian kota secara umum merujuk pada wilayah yang memiliki aktivitas ekonomi yang non agraris, fasilitas publik yang lengkap, serta jumlah penduduk yang lebih besar daripada wilayah desa. Konsep wilayah kota memiliki beberapa perbedaan mendasar yang menarik untuk dikaji. Namun demikian, apabila ditelaah dari proses terbentuknya, kota merupakan wujud dari perkembangan wilayah desa.

Kamus Tata Ruang mendefinisikan kota sebagai wilayah yang memiliki konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya sebagai hasil dari pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan aktivitas penduduknya

• Menurut Bintarto, kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk tinggi dan strata sosial ekonomi heterogen dengan corak yang materialistis.
• Menurut Harris dan Ullman, kota adalah pusat untuk permukiman dan pemanfaatan ruang bumi yang dilakukan oleh manusia secara unggul. Dicirikan dengan pertumbuhan wilayah yang cepat dan luas (Suparmini & Wijayanti, 2015).
• Menurut Weber, kota adalah daerah tempat tinggal yang dicirikan dengan kemampuan masyarakatnya untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kota adalah sebuah wilayah yang menjadi sentral permukiman dan ekonomi masyarakat yang dihuni oleh sumber daya manusia yang unggul. Kota mampu menyediakan peluang yang lebih besar jika dibandingkan daerah wilayah perdesaan. Untuk itu, tidak heran jika banyak penduduk desa yang melakukan mobilitas ke kota dalam rangka memperbaiki kualitas hidup.

Selain kota, terdapat pula istilah perkotaan yang merujuk pada permukiman yang meliputi kota induk dan daerah sekitar batas administratifnya yang mendapatkan pengaruh dari kota induk tersebut. Kawasan perkotaan juga merupakan pusat kegiatan ekonomi, industri, distribusi pelayanan jasa pemerintahan, dan pelayanan sosial. Kawasan perkotaan merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama nonpertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Maryani & Waluya, 2008; Mirza et al., 2017). 

b. Karakteristik Perkotaan

 Kawasan perkotaan memiliki karakteristik wilayah khusus yang dicirikan dengan pola keruangan yang didominasi oleh wilayah terbangun, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, serta rasio antara manusia dan lahan yang cenderung kecil. Masyarakat perkotaan umumnya bersifat individualis, kosmopolitan, dan pola interaksinya yang terkotak-kotak.

Variasi kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan cenderung heterogen/ beragam dengan corak sektor ekonomi nonagraris. Fungsi perkotaan selain tempat tinggal, juga meliputi pusat kegiatan ekonomi (pasar), pusat pelayanan, pusat pemerintahan, pusat militer, pusat kegiatan keagamaan, dan pusat kegiatan pendidikan. Masyarakat yang tinggal di perkotaan memiliki latar belakang ekonomi, suku, dan budaya yang berbeda-beda.

Terdapat komponen penting yang menjadi penyusun sebuah kota. Komponen tersebut adalah manusia, alam, ruang, jaringan, dan masyarakat. Berikut uraian dari masing-masing komponen kota.

 

• Manusia. Sumber daya manusia menjadi penggerak utama dari sebuah kota. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu menjadi menjadi subjek pembangunan yang membantu tumbuh kembangnya sebuah kota.

• Alam. Sumber daya alam merupakan aset yang dimiliki suatu negara yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim atau cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut yang sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Dengan adanya sumber daya alam yang melimpah dan berpotensi tinggi sangat mendukung pembangunan ekonomi kota.
• Ruang, berfungsi sebagai tempat berdirinya sebuah kota dengan segala aktivitasnya. Sebuah kota sangat membutuhkan yang namanya tata ruang. Penataan ruang ini merupakan landasan penting sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan wilayah kota dan solusi terhadap penanganan isu serta permasalahan kota (BPSDM, 2015).
• Jaringan. Kota memerlukan sebuah fasilitas yang berfungsi sebagai alat untuk melayani dan mendorong terwujudnya lingkungan permukiman dan lingkungan usaha yang optimal sesuai dengan fungsinya. Fasilitas berupa infrastruktur contohnya jaringan jalan dan transportasi. Fasilitas lainnya seperti air bersih, air limbah, persampahan, energi, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
• Masyarakat. Masyarakat kota telah banyak memiliki perubahan jika dibandingkan dengan pedesaan. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan jelas dan nyata sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar

c. Klasifikasi Kota

1) Klasifikasi kota berdasarkan jumlah populasi dan permukiman

 Klasifikasi wilayah kota berdasarkan pertumbuhan populasi dan permukiman di dalamnya terbagi menjadi 15 kelompok (Doxiadis, 1968). Wilayah kota dalam teori Doxiadis dapat diuraikan sebagai berikut.

• Dwelling group merupakan permukiman dengan populasi terendah, yaitu 40 jiwa.
• Small neighborhood merupakan permukiman dengan jumlah penduduk 250 jiwa.
• Neighborhood merupakan permukiman dengan jumlah penduduk 1.500 jiwa.
• Small town merupakan kota kecil dengan jumlah penduduk 9.000 jiwa.
• Town memiliki jumlah penduduk sebesar 50.000 jiwa.
• Large city memiliki jumlah penduduk sebesar 300.000 jiwa.
• Metropolis merupakan kota dengan jumlah penduduk 2.000.000 jiwa.
• Conurbation memiliki jumlah penduduk sebesar 14.000.000 jiwa.
• Megalopolis memiliki jumlah penduduk sebesar 100.000.000 jiwa.
• Urban region memiliki jumlah penduduk sebesar 700.000.000 jiwa.
• Urban continent merupakan kota dengan jumlah penduduk 5.000.000.000 jiwa.
• Ecumenepolis merupakan kota dengan jumlah penduduk 30.000.000.000 jiwa.

2) Klasifikasi kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanan (retail)

 Sinulingga (2005) membagi klasifikasi ruang kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanannya menjadi tiga, yaitu kota monocentris, kota polisentris, dan kota metropolitan.

• Kota monosentris merupakan kota yang belum berkembang pesat, dengan jumlah penduduk yang belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai Central Business District (CBD). Contohnya ibu kota kecamatan yang umumnya hanya punya satu pusat layanan kegiatan.
• Kota polisentris merupakan kota yang telah berkembang hingga membutuhkan pusat pelayanan lebih dari satu. Jumlah pusat pelayanan tersebut bergantung pada jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut. Contohnya kota-kota di daerah dan ibu kota kabupaten. Kota-kota tersebut memiliki lebih dari satu pusat pelayanan.
• Kota metropolitan merupakan kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan.

d. Teori Struktur Keruangan Kota

 Ekologi sebuah kota dapat ditelaah melalui tiga teori struktur keruangan kota, yaitu teori konsentris, teori sektoral, dan teori inti berganda. Ketiga teori tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Teori Konsentris

 Teori konsentris pertama kali dikembangkan oleh Burgess pada tahun 1924. Teori ini mengasumsikan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola ruang yang bersifat konsentris. Wilayah-wilayah kota tersusun menyerupai bentuk lingkaran bertingkat mengelilingi titik pusat. Pola keruangan tersebut meliputi lima kawasan sebagai berikut.

• Titik pusat (central business distric), yaitu pusat kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, dan politik sehingga pada zona ini terdapat bangunan utama
untuk kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jaringan transportasi
semuanya memusat ke zona ini sehingga zona ini memiliki aksesibilitas
yang tinggi. Salah satu contohnya daerah sekitar alun-alun dan balai kota
(tugu teratai) Kota Malang.
• Zona peralihan (zone of transition), yaitu zona yang banyak dihuni oleh
golongan penduduk berpenghasilan rendah dan para migran yang datang
dari desa. Kawasan ini berkembang sebagai kawasan sesak atau slum
area. Contoh dari zona ini adalah daerah sekitar Jalan Mangun Sarkoro,
Kota Malang. Zona peralihan tampak yang dibuktikan dengan adanya
penurunan kualitas lingkungan permukiman.
• Zona kelas rendah (zone of low status), yaitu zona tempat tinggal para
pekerja. Perumahan pada zona ini umumnya lebih baik serta sudah mulai
teratur. Kebanyakan penghuninya adalah bekas penghuni zona kedua
sebagai pekerja pabrik, buruh, dan sebagainya. Zona ini terletak di bagian
timur dan sebagian selatan setelah zona peralihan. Contoh dari zona ini
adalah daerah-daerah di sekitar Jalan Muharto, Jalan Ki Ageng Gribig,
Jalan Kebalen Wetan, dan Jalan Kota Lama, Kota Malang
• Zona kelas menengah (zone of middle status), yaitu zona yang dihuni oleh
kelas menengah yang terdiri atas orang-orang profesional, pemilik sendiri,
pengusaha, para pegawai, dan sebagainya. Perumahan penduduknya terdiri
atas rumah-rumah pribadi, rumah bangsa rendah, dan terdapat pusat
perniagaan kecil untuk memenuhi kebutuhan warga setempat. Adapun
contohnya dapat dilihat pada kawasan di sebelah barat serta sebagian
selatan dan utara alun-alun dengan kapasitas yang lumayan luas. Mulai
dari Jalan Aries Munandar, Jalan Halmahera, Jalan Syarif Al-Qodri, Jalan
Kauman, Jalan Kawi, Jalan Arjuno, Jalan Ijen, dan sekitarnya di Kota Malang.
• Zona kelas tinggi (zone of high status), yaitu zona tempat tinggal para komuter
(zone of commuters). Zona ini merupakan bagian terluar dari suatu kota dan
kawasan perumahan mewah. Zona ini hanya ditempati oleh mereka yang
mempunyai kendaraan pribadi yang mampu berulang-alik ke tempat kerja
di pusat kota. Zona ini berkembang sebagai kawasan subur dan ada yang
berkembang sebagai kota-kota satelit, tergantung waktu, luas, dan aktivitas
penduduknya. Zona ini misalnya dapat dilihat pada daerah di Kota Malang
yang berada di sebelah utara, yaitu kawasan terminal dan sekitarnya yang
mendekati daerah suburban.

Pola keruangan kota dalam teori konsentris dapat dilihat pada ilustrasi berikut.

Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Konsentris

Variabel yang digunakan untuk mengukur masing-masing zona dari lingkaran konsentris ini ialah harga tanah. Semakin dekat area dengan pusat kota, maka harga tanah akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin jauh area dari pusat kota, maka harga tanahnya akan semakin rendah (Malau et al., 2018)

2) Teori Sektoral

 Teori sektoral diperkenalkan oleh Homer Hoyt pada tahun 1939 dengan asumsi bahwa struktur tata guna lahan di wilayah kota cenderung berkembang melalui sektor-sektor. Central Business District (CBD) bertempat di pusat kota, tetapi pola pemanfaatan lahan wilayah lainnya berkembang menurut sektorsektor yang digambarkan menyerupai irisan kue. Menurut Homer Hoyt (dalam Mada, 2000), struktur ruang kota berkembang sebagai berikut.

• Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri atas bangunanbangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
• Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan.
• Dekat pusat kota dan dekat sektor di atas, yaitu bagian sebelahnya, terdapat sektor murbawisma (tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh).
• Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma.
• Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu permukiman golongan atas.

Berikut merupakan ilustrasi pola keruangan kota berdasarkan teori sektoral

Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Sektoral

3) Teori Inti Berganda

 Teori inti berganda pertama kali dikembangkan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1949. Asumsi dari teori ini menyatakan bahwa suatu kota terdiri atas beberapa inti atau pusat perkembangan. Setiap pusat cenderung diwarnai oleh satu jenis kegiatan, seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan, dan perdagangan. Pada perkembangan kota lebih lanjut, selalu terjadi pusat-pusat kegiatan baru yang memisahkan diri dari pusat kegiatan lama atau pusat Teori inti berganda pertama kali dikembangkan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1949. Asumsi dari teori ini menyatakan bahwa suatu kota terdiri atas beberapa inti atau pusat perkembangan. Setiap pusat cenderung diwarnai oleh satu jenis kegiatan, seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan, dan perdagangan. Pada perkembangan kota lebih lanjut, selalu terjadi pusat-pusat kegiatan baru yang memisahkan diri dari pusat kegiatan lama atau pusat 

• Pusat kota atau Central Business District
• Kawasan niaga dan industri ringan
• Kawasan murbawisma atau tempat tinggal berkualitas rendah
• Kawasan madyawisma atau tempat tinggal berkualitas menengah
• Kawasan adiwisma atau tempat tinggal berkualitas tinggi
• Pusat industri berat
• Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran
• Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma
• Upakota (suburban) kawasan industri

Berikut merupakan ilustrasi pola keruangan kota berdasarkan Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Inti Berganda.

Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Inti Berganda

 

e. Stadia Perkembangan Kota

 Kota merupakan elemen keruangan yang terbentuk akibat pesatnya laju aktivitas ekonomi yang berlangsung di suatu wilayah. Ditinjau dari asalusulnya, setiap kota pada mulanya merupakan wilayah desa yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Berikut merupakan enam tahapan/stadia perkembangan kota menurut Lewis Mumford (dalam Samli, 2012).

• Tahap eopolis, yaitu desa yang teratur dan telah menunjukkan
perubahan corak kehidupan tradisional ke arah kehidupan kota.
Contohnya perkembangan kota di daerah pemekaran. Di daerah ini
banyak dijumpai kelurahan atau kecamatan yang bercorak pedesaan,
tetapi sudah menunjukkan perubahan-perubahan sesuai kehidupan
kekotaan. Infrastruktur jalan sudah beraspal, listrik sebagai sumber energi
penerangan dan industri rumah tangga, telepon genggam (handphone)
sudah dipakai meluas, dan gaya hidup sebagian masyarakat juga ada
corak-corak kekotaan. Misalnya Desa Punten, Tulungrejo, dan Beji di
daerah Batu, Jawa Timur. Setelah Batu berubah menjadi kota administrasi
dari kecamatan, terjadi perubahan seperti digambarkan.
• Tahap polis, yaitu kota yang aktivitas ekonominya masih menunjukkan
corak wilayah agraris. Tahapan kota ini dapat kita jumpai pada ibu kota-ibu
kota daerah pemekaran. Ibu kota tersebut umumnya bercorak agraris karena
perpindahan dari kota sebelumnya. Contohnya Kota Batu dan Kota Kepanjen.
Kota-kota tersebut coraknya agraris. Penduduknya sebagian besar bekerja di
bidang pertanian.
• Tahap metropolis, yaitu kota yang sebagian besar aktivitas ekonominya
berorientasi pada sektor industri. Contohnya Kota Sidoarjo, Tangerang, dan
Bekasi. Kota-kota tersebut aktivitas penduduknya sebagian besar pada bidang
industri.
• Tahap megalopolis, yaitu wilayah kota yang telah berkembang mencapai
tingkat tertinggi sebagai hasil dari pemekaran atau perluasan wilayah
kota. Contohnya Jakarta dan Surabaya. Kota ini demikian meluas ke daerah
sekitarnya. Jakarta meluas pengaruhnya menjadi Jabodetabek. Surabaya
meluas pengaruhnya menjadi Gerbangkertosusila.
• Tahap tiranopolis, yaitu wilayah kota yang pola kehidupan masyarakatnya
sudah sulit dikendalikan. Dicirikan dengan berbagai masalah, seperti
kemacetan, kejahatan, kriminalitas, dan kekacauan pelayanan. Tahapan kota
ini sepertinya belum kita alami dalam perkembangan kota-kota di Indonesia.
• Tahap nekropolis, yaitu kota yang perkembangannya mengarah pada
kota mati.

Tahapan kota yang terakhir ini juga belum dialami oleh kota-kota di Indonesia.

f. Paradigma Pembangunan Kota

 Ketika berada di suatu kota, kalian merasakan suasana yang nyaman. Jalanjalan di kota dibuat halus dan lurus batas kanan kirinya, pedestrian yang lebar dan rata dilengkapi jalur difabel, taman di sepanjang jalan dibuat serasi, dan ruang terbuka hijau yang tertata secara harmoni. Di tengah-tengah penataan fisik kota yang demikian, tersedia sistem transportasi umum yang memadai, bagus, bersih, efisien, dan disiplin warga memanfaatkan fasilitas dan transportasi umum.

Itulah gambaran pembangunan kota dengan paradigma baru yang membahagiakan warganya. Paradigma pembangunan kota tidak hanya membangun fisik dan ekonomi belaka, tetapi pembangunan kota yang menyeluruh, kompak, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan. Di Jakarta misalnya, disebut dalam visi “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Kota ini telah bersolek demikian indahnya, tidak kalah dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Pembangunan kota yang demikian dapat dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut.

• Penerapan manajemen perkotaan yang baik, yaitu melakukan optimasi
dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengamanan zona penyangga
di sekitar kota inti dengan penegakan hukum yang tegas dan adil.
• Pengembangan kegiatan ekonomi kota yang ramah lingkungan, yaitu
mengembangkan industri jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan
industri telematika serta peningkatan kemampuan keuangan daerah
perkotaan.
• Revitalisasi kawasan kota, yaitu mengembalikan fungsi kawasan melalui
pembangunan kembali, peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial,
dan budaya, serta penataan kembali pelayanan fasilitas publik, terutama
pengembangan sistem transportasi massal yang terintegrasi antarmoda.
(Karyoedi, 1993; Royat, 2004)

Pembangunan kota dengan paradigma baru dalam pembangunan wilayah kota dikenal dengan konsep “kota baru”. Menurut Osborn dan Whittick (dalam Ngangi et al., 2018), bahwa kota baru merupakan upaya untuk mengatasi masalah pertumbuhan permukiman tersebar yang tidak terkendali dan kemacetan kota-kota besar karena semakin berkembangnya kegiatan usaha dan penduduk di kota besar. Pembangunan kota-kota baru diyakini dan dipandang sebagai the only way untuk mengatasi masalah urbanisasi yang cepat. Di Indonesia, banyak fenomena kota baru, seperti Balikpapan Baru, Kota Baru, dan masih banyak lagi walau tidak disebut “kota baru”, misalnya Semarang, Gresik, Kendari, Manado, Batu, Yogyakarta, dan Solo.

g. Arah dan Dinamika Pembangunan Kota

 Kota berkembang secara dinamis. Ada tiga faktor yang memengaruhi dinamika kota, yaitu (1) struktur keruangan kota dengan penataan jejaring jalan, penggunaan lahan, dan pemanfaatan lahan. (2) Potensi sumber daya, berupa modal dalam penentuan arah kebijakan pembangunannya. (3) Tantangan menghadapi masalah urbanisasi berlebih, kemiskinan, krisis keamanan, melemahnya daya dukung lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan globalisasi.

Tantangan serius yang dihadapi kota adalah dampak urbanisasi. Dampak tersebut terjadi ketika sebuah kota tidak lagi mampu menyediakan fasilitas pokok dan peluang kerja yang memadai untuk para penduduknya akibat pertambahan penduduk yang begitu pesat. Urbanisasi tidak hanya memperburuk masalah pengangguran, tetapi juga menimbulkan masalah sosial seperti kesesakan, penyerobotan tanah, dan pembangunan permukiman liar. Tantangannya adalah bagaimana mengarahkan pembangunan kawasan perkotaan yang mampu menciptakan keseimbangan regional dan pemerataan sumber daya.

Paradigma pembangunan kota ini melihat wilayah desa dan kota sebagai suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Pengembangan desa juga merupakan strategi yang penting untuk pengembangan wilayah kota. Pada hakikatnya, urbanisasi selain berdampak pada beberapa hal tersebut, juga secara tidak langsung menuntut kota untuk terus berkembang dan membangun fasilitasnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat akibat bertambahnya jumlah kaum urbanis (Kumurur, 2010) 

3. Interaksi Desa-Kota

a. Pengertian dan Faktor Pendorong Interaksi Desa-Kota

 Desa dan kota merupakan wilayah tempat kita tumbuh dan berkembang bersama keluarga. Ada sebagian dari kalian yang tinggal di desa dan sebagian yang lain tinggal di kota. Kedua wilayah tersebut sejak awal selalu terjalin dalam hubungan saling memenuhi dan membutuhkan. Desa memenuhi kebutuhan pokok/mentah hasil-hasil pertanian yang dibutuhkan kota, sedangkan kota memenuhi kebutuhan pokok barang jadi produk industri yang diperlukan penduduk desa. Hubungan timbal balik antara wilayah desa dan kota disebut interaksi desa-kota.

Dalam interaksi dengan wilayah kota, desa memiliki fungsi khusus sebagai hinterland (daerah penyangga). Desa berperan memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok, baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Desa juga berperan sebagai lumbung bahan mentah dan tenaga kerja yang produktif yang dibutuhkan wilayah kota. Berbagai jenis komoditi primer dihasilkan desa, seperti beras, jagung, serta berbagai jenis sayur dan buah.

Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang mendorong timbulnya interaksi antara wilayah desa dan kota, yaitu komplementasi regional, kesempatan intervensi, dan kemudahan perpindahan ruang (Latarre, 2012).

1) Komplementasi regional (regional complementary)

 Komplementasi regional dapat diartikan sebagai wilayah-wilayah yang saling melengkapi. Dalam hal ini, interaksi antarwilayah dapat terjadi apabila potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah dapat melengkapi kebutuhan wilayah lain. Sebagai contoh kebutuhan beras dan sayuran untuk penduduk kota Malang dipasok dari desa-desa Pakis yang tidak berjauhan letaknya.

2) Kesempatan intervensi (intervening opportunity)

 Kesempatan intervensi dapat diartikan sebagai pengaruh yang dapat menghambat timbulnya interaksi antarwilayah. Kesempatan intervensi terjadi akibat adanya komponen alternatif atau pengganti sumber daya yang dibutuhkan oleh suatu daerah. Sebagai contoh kekurangan sayur dapat diatasi dengan pertanian kota (urban farming).

3) Kemudahan perpindahan dalam ruang (spasial transfer ability)

 Kemudahan perpindahan dalam ruang merupakan faktor yang mendorong terjadinya proses interaksi antarwilayah. Hal ini dikarenakan pergerakan manusia, barang, dan informasi dapat berpengaruh terhadap proses interaksi. Kemudahan perpindahan ruang berkaitan dengan jarak mutlak dan relatif antarwilayah, biaya angkutan atau biaya transportasi antarwilayah, serta kemudahan dan kelancaran prasarana transportasi antarwilayah (Suparmin, 2012). Sebagai contoh pengiriman produk pertanian dari desa-desa disekitar kota Malang mudah dilakukan karena akses jalan dan angkutan yag mudah diperoleh petani.

b. Dampak Interaksi Desa-Kota

Interaksi antara wilayah desa dan kota ibarat dua sisi mata uang. Pada satu sisi memberikan dampak positif, tetapi pada sisi lain menimbulkan dampak negatif. Berikut beberapa dampak positif dari interaksi desa dan kota.

1) Peningkatan pengetahuan dan literasi masyarakat

 Pengetahuan dan literasi masyarakat meningkat pesat akibat adanya kemudahan dalam pertukaran informasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini sudah sangat berkembang sejak masuk era milenium. Keberadaan intenet mampu memberikan manfaat yang sangat besar dalam kehidupan, seperti peningkatan pengetahuan, wawasan, serta memberikan banyak informasi yang dibutuhkan masyarakat (Talika, 2016).

2) Peningkatan pergerakan barang dan jasa

 Meningkatnya pergerakan barang dan jasa dari desa ke kota ataupun sebaliknya. Masyarakat kota memiliki berbagai sumber ekonomi modern yang menunjang penghasilan tinggi. Kegiatan ekonomi dalam produk berupa jasa jauh lebih berkembang daripada produk barang. Untuk memenuhi barang kebutuhan pokok yang tidak dihasilkan di kota, maka harus didatangkan dari desa.

3) Penciptaan akses teknologi yang lebih mudah

 Terciptanya kemudahan bagi masyarakat desa mengakses teknologi tepat guna khususnya di bidang pertanian. Pemerintah terus berupaya untuk mengajak dan mengajarkan kepada para petani lokal dan generasi muda dalam memanfaatkan teknologi pertanian. Salah satu caranya dengan mengadakan penyuluhan dan memberikan bantuan berupa alat-alat pertanian modern sehingga petani mampu menggunakan dan mengaplikasikannya ke dalam pertanian di desa.

 Selain dapat menimbulkan dampak positif, interaksi desa-kota juga dapat menimbulkan dampak negatif. Berikut beberapa dampak negatif dari interaksi desa dan kota.

1) Peningkatan urbanisasi

 Kemudahan akses transportasi antara desa dan kota mengakibatkan masyarakat usia produktif cenderung bekerja di kota. Persoalan ekonomi menjadi alasan yang cukup dominan mendorong penduduk desa untuk mengadu nasib di kota. Wilayah kota memberikan daya tarik yang kuat sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang berbondong-bondong bermigrasi, seperti kesempatan kerja yang terbuka dan beragam, upah yang lebih, serta infrastruktur yang memadai.

2) Penurunan lahan pertanian dan lahan terbuka hijau

 Pertambahan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor minimnya ruang terbuka hijau dan pertanian. Jumlah penduduk pada dasarnya berbanding lurus dengan jumlah kebutuhan akan lahan sebagai tempat tinggal atau usaha, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan yang menyebabkan lahan yang masih produktif beralih fungsi menjadi tempat tinggal dan untuk berbagai macam kegiatan usaha.

3) Penetrasi budaya kota ke desa yang kurang sesuai

 Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan di kebudayaan lainnya (Putri, 2021). Artinya, kebudayaan yang sudah dikenal lama di masyarakat, dipengaruhi oleh masuknya kebudayaan lain yang bisa jadi berbeda dengan kebudayaan di masyarakat tersebut. Penetrasi budaya tidak dapat selalu dimaknai negatif. Asalkan kebudayaan lama dan kebudayaan baru bisa saling mengimbangi satu sama lain. Jika tidak bisa, kebudayaan lama dikhawatirkan dapat rusak

4) Memicu masalah-masalah sosial

Munculnya berbagai permasalahan sosial seperti pengangguran, tunawisma, dan kriminalitas. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah apabila masyarakat mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Hal inilah yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota sehingga menimbulkan kemiskinan. Kondisi yang sulit ini dapat membuat seseorang melakukan tindakan yang kurang tepat, misalnya mencuri, merampok, bahkan membunuh (Harahap, 2013). Selain itu, terdapat juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila .

5) Memunculkan area-area kumuh (slum area)

 Seiring dengan meluasnya urbanisasi, tumbuh subur kantong-kantong permukiman kumuh (slum area) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar. Semakin banyak penduduk kota yang tinggal berimpit-impit di berbagai pusat permukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia. Namun, permukiman-permukiman ini terus saja mendapat tambahan para pemukim tetap dengan jumlah dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun. Permukiman-permukiman kumuh di Jakarta dapat dilihat di daerah pinggiran sungai, di bawah jembatan, daerah pinggiran rel, perdagangan, dan lain-lain

6) Penurunan minat bekerja di sektor pertanian

 Berkembangnya sejumlah pekerjaan yang mengabsorpsi tenaga kerja nonpertanian. Rendahnya penghasilan di sektor pertanian mengakibatkan para generasi muda kurang tertarik untuk bekerja pada bidang ini. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pun terus menurun, padahal Indonesia negara agraris. Di tahun 2011, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 42,46 juta jiwa, tetapi pada tahun 2021 jumlahnya berkurang menjadi 38,77 juta jiwa saja.

7) Peningkatan gaya hidup hedonisme

 Meningkatnya hedonisme masyarakat yang dicirikan dengan perilaku konsumtif masyarakat desa terhadap barang industri. Banyaknya barang dan jasa yang ada di pasaran tentunya akan mempengaruhi barang dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat (Anggraini & Santhoso, 2020). Pembelian dan pemakaian suatu barang terkadang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan didorong karena adanya faktor keinginan yang kurang berguna, seperti mengikuti tren, gengsi, menaikkan prestise, dan berbagai alasan lainnya yang dianggap kurang penting. Dengan demikian, hal tersebut secara langsung atau tidak langsung menyebabkan daya beli dan sikap konsumtif meningkat.

Advertisements