1. Pengertian Wilayah
Wilayah tentu bukan istilah asing bagi kalian. Istilah tersebut sering hadir dalam pembelajaran, terutama pembelajaran IPS. Misalnya ada wilayah pertanian, wilayah industri, wilayah pesisir, wilayah perdesaan, wilayah perkotaan, dan sebagainya. Wilayah-wilayah tersebut tentu menggambarkan corak spesifik seperti namanya. Misalnya wilayah pertanian menggambarkan usaha pertanian yang relatif luas, wilayah industri mencerminkan usaha berbagai industri (pabrik) di area yang relatif luas, dan sebagainya.
Beberapa ahli mendefinisikan wilayah. Dalam bahasa Inggris, istilah wilayah disebut region (Kant, 1991). Hadjisarosa (1981) mengungkapkan bahwa wilayah merupakan sebutan untuk lingkungan permukaan bumi yang jelas batasannya. Sementara Hartshorn (1982) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area yang spesifik dan memiliki aspek pembeda dengan area lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa wilayah merupakan dimensi ruang/spasial berupa area-area di permukaan bumi yang memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan area lainnya. Istilah wilayah juga dapat digunakan untuk menunjukkan suatu tempat yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan tempat lain.
Beberapa ahli mendefinisikan wilayah. Dalam bahasa Inggris, istilah wilayah disebut region (Kant, 1991). Hadjisarosa (1981) mengungkapkan bahwa wilayah merupakan sebutan untuk lingkungan permukaan bumi yang jelas batasannya. Sementara Hartshorn (1982) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area yang spesifik dan memiliki aspek pembeda dengan area lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa wilayah merupakan dimensi ruang/spasial berupa area-area di permukaan bumi yang memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan area lainnya. Istilah wilayah juga dapat digunakan untuk menunjukkan suatu tempat yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan tempat lain.
Aspek pembeda tersebut dapat berupa kenampakan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang terkandung di dalamnya (inhern). Perbedaan karakteristik antarwilayah terbentuk akibat adanya dinamika dan interaksi yang berbeda dari tiap komponen fisik, manusia, dan teknologi. Lahan berkapur, curah hujannya relatif kering, dan teknologi yang dikuasai penduduk sederhana, maka di wilayah tersebut dapat berkembang hutan jati yang membedakan dengan jenis hutan lainnya.
2. Jenis-Jenis Wilayah
Wilayah di permukaan bumi tidak satu, tetapi beragam jenisnya. Ada tiga jenis wilayah yang dapat dijumpai, yaitu wilayah formal (wilayah homogen), wilayah nodal (wilayah fungsional), dan wilayah perencanaan (wilayah program).
a. Wilayah Formal (Wilayah Homogen)
Wilayah formal (wilayah homogen) merupakan unit geografis yang digolongkan berdasarkan karakteristik yang sama. Kriteria penggolongan wilayah formal dapat berupa aspek fisik, sosial, politik, maupun ekonomi (Adisasmita, 2016; Rustiadi, 2017). Contohnya wilayah pertanian di perdesaan yang ditandai kesamaan mata pencaharian penduduk sebagai petani dan lingkungan fisik berupa lahan budi daya pertanian. Adapun wilayah industri ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik yang luas. Wilayah formal apa saja yang terdapat di kota atau kabupaten kalian? Tentu, ada beberapa wilayah formal yang dapat kalian jumpai di sana untuk dijadikan contoh.
b. Wilayah Nodal (Wilayah Fungsional)
Wilayah nodal (wilayah fungsional) terdiri atas satuan wilayah yang heterogen sehingga memunculkan hubungan saling ketergantungan dengan wilayah lain. Pembentukan wilayah fungsional umumnya berlangsung secara dinamis dan berawal dari titik pusat (wilayah sentral) yang mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya (Adisasmita, 2016; Karlsson & Olsson, 2006; Langenhove, 2012)
Contoh wilayah fungsional adalah wilayah Jabodetabek, Gerbangkertosusila, dan Pusat Bisnis Semarang. Tentu, wilayah jenis ini juga dapat kalian jumpai di berbagai tempat, walau tidak selalu tersedia. Kalian dapat mencari jenisjenis wilayah tersebut secara mandiri.
c. Wilayah Perencanaan (Wilayah Program)
Wilayah perencanaan (wilayah program) merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan yang menjadi objek dari program-program pembangunan. Wilayah perencanaan erat kaitannya dengan perencanaan tata ruang wilayah yang wilayah ini berfungsi sebagai objek atau alat untuk mencapai tujuan pembangunan. Wilayah perencanaan merupakan bagian penting dari suatu kebijakan regional, karena keberhasilan pembangunan wilayah ini akan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat dalam lingkup regional. Contohnya Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara Tahun 2022-2042 yang telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2022. Contoh lain adalah food estate yang dibangun di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara yang mengembangkan tanaman hortikultura. Kalian tentu dapat mencari contoh lain melalui sumber-sumber daring.
Contoh wilayah fungsional adalah wilayah Jabodetabek, Gerbangkertosusila, dan Pusat Bisnis Semarang. Tentu, wilayah jenis ini juga dapat kalian jumpai di berbagai tempat, walau tidak selalu tersedia. Kalian dapat mencari jenisjenis wilayah tersebut secara mandiri.
3. Perwilayahan (Regionalisasi)
Setelah mempelajari konsep wilayah dan klasifikasi wilayah, selanjutnya kita akan belajar perwilayahan. Secara faktual, kalian dapat melihat fenomena alam, sosial, dan buatan yang belum jelas tergolong wilayah apa fenomena tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi dan pengelompokan agar menjadi jelas jenis wilayahnya. Proses identifikasi dan pengelompokan menjadi wilayah tertentu disebut perwilayahan.
Istilah perwilayahan dapat juga diartikan sebagai proses identifikasi dan pengelompokan wilayah berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristiknya dengan wilayah lain. Praktik dalam perwilayahan dilakukan dengan memperhatikan kriteria dan tujuan dari pengelompokan wilayah terkait. Kriteria perwilayahan dapat berupa aspek fisik, sosial, budaya, dan ekonomi. Adapun tujuan perwilayahan dalam materi ini secara spesifik difokuskan untuk mengidentifikasi tiga jenis wilayah, yaitu wilayah formal, wilayah nodal, dan wilayah perencanaan.
a. Perwilayahan Formal (Perwilayahan Homogen)
Implementasi perwilayahan formal dilakukan dengan mengelompokkan wilayah-wilayah tertentu yang memiliki karakteristik serupa (homogen). Karakteristik wilayah yang homogen dapat diidentifikasi melalui data spasial dan data statistik yang memuat kondisi wilayah yang akan diidentifikasi. Data tersebut memudahkan untuk menemukan persamaan dan perbedaan yang terdapat di setiap wilayah. Hasil identifikasi inilah yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelompokan wilayah secara formal. (Adisasmita, 2016; Symanski & Newman, 1973). Sebagai contoh, identifikasi dan pengelompokan wilayah provinsi dengan penduduk terbanyak dapat dilakukan dengan menganalisis data kependudukan per provinsi sehingga diperoleh wilayahwilayah berpenduduk terbanyak, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan. Wilayahwilayah tersebut tidak berdekatan lokasinya, tetapi memiliki kesamaan sebagai wilayah dengan penduduk terbanyak.
b. Perwilayahan Nodal (Perwilayahan Heterogen)
Perwilayahan nodal atau polarisasi dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan antara titik pusat dengan unit-unit lain yang ada di sekitarnya. Hubungan antara titik pusat dengan wilayah lain di sekitarnya dapat diidentifikasi melalui analisis pola keruangan suatu wilayah pada peta dan pola interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain (Farmer & Fotheringham, 2011; Symanski & Newman, 1973). Pola keruangan wilayah sentral (titik pusat) biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap dinamika yang berlangsung pada wilayah lain di sekitarnya. Contohnya perwilayahan fungsional untuk kawasan Gerbangkertosusila dilakukan berdasarkan keterkaitan keruangan yang tampak antara wilayah Surabaya sebagai titik pusat dengan wilayah Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
c. Perwilayahan Perencanaan (Perwilayahan Program)
Praktik dalam perwilayahan perencanaan dilakukan dengan mengelompokkan wilayah-wilayah tertentu berdasarkan posisinya dalam suatu program pembangunan. Identifikasi wilayah perencanaan mengacu pada dokumen perencanaan tata ruang wilayah dan program lainnya yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan. Batasan dalam perwilayahan perencanaan ini didasarkan pada analisis pembangunan dan lingkungan geografis tempat program pembangunan berlangsung (Adisasmita, 2016; Mahi, 2016; Rustiadi et al., 2017). Sebagai contoh pengembangan industri hijau (green industry) di Kalimantan Utara. Wilayah hutan di lokasi tersebut sedang dikembangkan menjadi wilayah industri hijau.
4. Tujuan, Prinsip, dan Teori Pengembangan Wilayah
Sering kali ketika kalian menghadapi permasalahan wilayah dan perwilayahan mengalami kesulitan menjelaskannya. Bagaimana suatu wilayah terbentuk? Faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh? Bagaimana koneksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya? Bagaimana arah pengembangan wilayah tersebut?
Dalam menghadapi kesulitan tersebut, pengetahuan tentang tujuan, prinsip, dan teori pengembangan wilayah diperlukan. Tujuan pengembangan wilayah diperlukan sebagai arahan yang hendak dicapai. Prinsip diperlukan sebagai landasan berpikir dalam menyikapi permasalahan kewilayahan yang terjadi. Teori-teori kewilayahan diperlukan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi.
a. Tujuan Pengembangan Wilayah
Ada beberapa tujuan pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan agar arah yang dituju tercapai, yaitu sebagai berikut.
1) Mewujudkan pemerataan pertumbuhan wilayah
Pemerataan pertumbuhan wilayah dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan dan menekan jumlah wilayah yang tertinggal akibat ketidakmerataan pembangunan. Hal ini merupakan sasaran utama pengembangan wilayah, yaitu untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara menyeluruh demi tercapainya kesejahteraan masyarakat secara utuh.
2) Menjaga stabilitas ekonomi nasional
Stabilitas ekonomi nasional dapat diartikan sebagai perekonomian negara yang kondusif dan berlangsung dalam jangka panjang. Perekonomian yang kondusif ini sering kali diasosiasikan dengan stabilnya harga barang/ jasa, meningkatnya daya beli masyarakat, serta meningkatnya pendapatan nasional. Stabilitas ekonomi menjadi salah satu fokus utama pengembangan wilayah karena berkaitan dengan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat.
3) Mendorong efisiensi pertumbuhan wilayah
Pertumbuhan wilayah yang efisien dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur dan sarana yang memadai bagi masyarakat. Infrastruktur tersebut secara simultan turut meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong tingginya aktivitas yang berlangsung di wilayah tersebut. Dengan demikian, pertumbuhan wilayah tidak hanya berlangsung pada satu wilayah saja, tetapi juga dapat memacu pertumbuhan wilayah-wilayah lain di sekitarnya (Mahi, 2016; Hadjisarosa, 1982).
b. Prinsip dan Teori-Teori Pengembangan Wilayah
Implementasi pengembangan wilayah dilandasi oleh beberapa prinsip. Ada empat prinsip dasar pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut.
- Pengembangan wilayah tidak hanya berfokus untuk membangun internalwilayah tertentu, tetapi juga untuk mendorong perkembangan wilayah disekitarnya.
- Keberhasilan pengembangan wilayah memerlukan kerja sama multisektoral dan melibatkan kerja sama antar wilayah.
- Pola pengembangan wilayah bersifat integral, yaitu integrasi dari daerah daerah yang termasuk dalam wilayah pembangunan.
- Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar dan kondisi ekonomijuga menjadi prasyarat dalam perencanaan pembangunan.
- Teori-teori dalam pengembangan wilayah berfokus pada tiga pilar utama, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen esensial yang dapat mendorong pelaksanaan pengembangan wilayah secara optimal, tetapi tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan alam.
Ada tiga teori pengembangan wilayah yang perlu dipahami, yaitu teori kutub pertumbuhan, teori lokasi, dan teori agropolitan. Ketiga teori tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Teori Kutub Pertumbuhan
Teori kutub pertumbuhan (the growth pole theory) dikemukakan oleh Francois Perroux pada 1955. Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan atau pembangunan tidak dilakukan di seluruh ruang wilayah, tetapi terbatas pada beberapa lokasi tertentu yang dianggap sebagai kutub pertumbuhan. Lokasi ini memiliki konsentrasi aktivitas masyarakat yang lebih tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan pengaruh pertumbuhan yang positif untuk wilayah lain di sekitarnya. Situasi inilah yang kemudian disebut dengan istilah penjalaran (spread) (Gulo, 2015; Rustiadi et al., 2017)
Pesatnya aktivitas ekonomi di wilayah kutub pertumbuhan juga turut mendorong aliran investasi ke arah wilayah di bawahnya (wilayah dengan hierarki ekonomi yang lebih kecil). Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah trickling down effect atau pengaruh tetesan ke bawah. Selain efek penjalaran dan tetesan ke bawah, dalam teori kutub pertumbuhan juga dikenal istilah backwash (penarikan). Efek penarikan ini terjadi ketika kemajuan wilayah kutub pertumbuhan mengakibatkan tenaga kerja produktif dan modal ekonomi terserap ke arah wilayah tersebut sehingga hal ini secara langsung akan menghambat pertumbuhan wilayah di sekitarnya. Selanjutnya, wilayah yang mendapat pengaruh penarikan (backwash effect) akan mengalami kemunduran dan disebut dengan daerah peri peri (Mahi, 2016).
Letak kutub pertumbuhan dalam teori ini merujuk pada suatu daerah yang memiliki industri kunci dan pusat berbagai kegiatan ekonomi yang berpotensi mendorong tumbuhnya industri lain di sekitarnya (Adisasmita, 2016). Adapun karakteristik wilayah yang dapat dijadikan sebagai lokasi kutub pertumbuhan, antara lain sebagai berikut.
a. Memiliki berbagai sektor kegiatan ekonomi yang saling berhubungan.
Lokasi yang ideal untuk pusat pertumbuhan harus memiliki kegiatan ekonomi yang heterogen (beragam) dan saling berkaitan. Keterkaitan aktivitas ekonomi inilah yang kemudian turut menghidupkan perekonomian dan mendorong kemajuan wilayah secara menyeluruh.
b. Terdapat sektor yang saling terkait sehingga menciptakan efek pengganda.
Efek pengganda (multiplier effect) merupakan hasil dari interaksi ekonomi yang memberikan pengaruh secara luas bagi kehidupan masyarakat.
c. Adanya konsentrasi geografis dalam suatu wilayah.
Konsentrasi geografis dimaksudkan sebagai keberagaman sumber daya alam dan sumber daya manusia yang terpusat di suatu wilayah. Potensi tersebut merupakan modal awal terbentuknya beragam aktivitas ekonomi seperti pertukaran barang dan jasa. Kegiatan ekonomi yang terpusat seperti ini akan menjadi keunikan dan kekuatan tersendiri bagi wilayah sentral.
d. Bersifat mendorong daerah penyangga yang ada di sekitarnya.
Lokasi strategis yang akan dijadikan sebagai pusat pertumbuhan harus mampu mendorong kemajuan wilayah penyangga di sekitarnya. Hal ini dikarenakan wilayah penyangga (hinterland) berperan dalam menyediakan bahan baku kegiatan ekonomi di wilayah pusat. Dengan demikian, pertumbuhan wilayah penyangga akan menentukan kemajuan ekonomi wilayah pusat (Setyanto & Irawan, 2016).
Implementasi teori kutub pertumbuhan dalam pembangunan nasional tercermin dalam kebijakan pemerintah yang membagi wilayah Indonesia ke dalam empat region pusat pertumbuhan. Keempat wilayah pusat pertumbuhan tersebut adalah Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Masing-masing pusat pertumbuhan tersebut kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah pembangunan.
Adapun penggolongan wilayah pusat pertumbuhan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.
Regional | Pusat Pertumbuhan | Wilayah Pembangunan | Cakupan Wilayah |
---|---|---|---|
Aceh dan Sumatra Utara (Berpusat di Medan) | |||
Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau (Berpusat di Pekanbaru) | |||
Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung(Berpusat di Palembang) | |||
Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berpusat di Jakarta) | |||
Kalimantan Barat (Berpusat di Pontianak) | |||
Jawa Timur dan Bali (Berpusat di Surabaya) | |||
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan (Berpusat di Balikpapan dan Samarinda) | |||
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara (Berpusat di Makassar) | |||
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Gorontalo (Berpusat di Manado) | |||
Maluku, Maluku Utara, dan Papua(Berpusat di Sorong) |
Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pembangunan di Indonesia
2) Teori Lokasi
Teori lokasi merupakan salah satu teori yang mendasari pelaksanaan pembangunan yang berbasis wilayah. Landasan berpikir (asumsi dasar) teori ini berfokus untuk mengelola lokasi kegiatan ekonomi semaksimal mungkin agar seluruh ruang wilayah dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal. Teori ini terus mengalami perkembangan seiring dengan berubahnya mekanisme pasar dan pelaku ekonomi.
Beberapa teori dasar yang berkembang dalam teori lokasi ialah teori klasik (teori sewa tanah), teori lokasi optimum, dan teori lokasi sentral.
a) Teori Klasik (Teori Sewa Tanah)
Konsep dari teori ini pertama kali diperkenalkan oleh J.H. von Thunen (1982). Teori ini mengasumsikan bahwa nilai sewa lahan pertanian ditentukan oleh jaraknya terhadap pusat kota atau pasar. Menurut Von Thunen, harga lahan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya jarak lahan dari pusat kota.
Asumsi ini diukur berdasarkan perbedaan manfaat biaya transportasi yang diperoleh dari lokasi lahan yang dekat dengan pusat kota. Semakin besar jarak lahan pertanian dari pasar atau pusat kota, akan berdampak pada tingginya biaya jual untuk menutupi biaya transportasi. Sebaliknya, semakin dekat jarak lahan dengan pusat kota atau pasar, maka biaya transportasi dan harga jual produk akan menjadi lebih rendah (Adisasmita, 2008).
Gagasan utama dari teori sewa tanah ini antara lain: (1) Lokasi lahan pertanian yang jauh dari pusat kota atau pasar akan mengharuskan petani menempuh jarak yang cukup jauh untuk menjual hasil panen. (2) Nilai sewa lahan pertanian akan berbeda-beda bergantung pada jarak lahan tersebut dengan pusat kota. (3) Produsen tersebar pada daerah yang luas, tetapi konsumen/pembeli terkonsentrasi pada titik sentral yang umumnya bertempat di pusat kota/pasar. Ketiga gagasan tersebut berperan penting dalam pengembangan wilayah terutama untuk menentukan lokasi dari berbagai kegiatan perekonomian (Setyanto & Irawan, 2016). Selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman terkait teori lokasi klasik, perhatikan ilustrasi berikut.
b) Teori Lokasi Optimum
Teori lokasi optimum diperkenalkan oleh Alfred Weber pada 1909. Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penentuan lokasi industri didasarkan pada prinsip biaya minimum. Lokasi industri yang menguntungkan menurut Weber terletak pada wilayah dengan biaya transportasi dan biaya tenaga kerja paling rendah. Dalam teori ini, transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi merupakan tiga variabel penting yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi industri
Teori ini sejatinya membebaskan setiap pelaku industri dalam menentukan lokasi optimum. Namun, Weber memberikan tiga skema analisis penentuan lokasi industri berdasarkan dua faktor penentu, yaitu indeks material dan berat lokasional. Indeks material merupakan perbandingan antara berat bahan baku dengan berat produk akhir yang akan dipasarkan. Berat lokasional adalah berat keseluruhan yang harus diangkut dari tempat produksi. Berat lokasional ini dihitung mulai dari bahan baku, bahan bakar, hingga menjadi produk hasil akhir.
Gambar A. Apabila produk akhir dari suatu kegiatan industri mengalami penambahan berat/volume dari berat/volume bahan baku awal, lokasi optimum akan cenderung berada di dekat pasar.
Gambar B. Apabila produk akhir dari suatu kegiatan industri mengalami penyusutan berat/volume dari berat/volume bahan baku awal, lokasi industri akan cenderung berada dekat dengan lokasi bahan baku.
Ketiga skema penentuan lokasi optimum tersebut dinyatakan dalam segitiga lokasi berikut.
Keterangan:
M = Market/Pasar
P = Place/Lokasi industri
R1, R2 = Raw material/Lokasi bahan baku
Skema Penentuan Lokasi Optimum
Skema lokasi industri pada segitiga A memiliki indeks material kurang dari 1, yaitu berat bahan baku lebih kecil daripada berat produk akhir yang akan dipasarkan. Dengan demikian, untuk meminimalkan biaya transportasi yang ditentukan oleh berat lokasional produk, maka lokasi optimum diletakkan pada wilayah yang dekat dengan pasar. Sebaliknya, pada skema segitiga B, memiliki indeks material lebih dari 1, yaitu berat bahan baku lebih besar daripada berat produk akhir yang akan dipasarkan. Dengan demikian, untuk meminimalkan ongkos transportasi, maka lokasi industri sebaiknya diletakkan di dekat bahan baku. Pada skema segitiga C, apabila berat bahan baku dan produk akhir tidak mengalami perubahan yang signifikan (netral), maka lokasi industri dapat diletakkan di tengah antara lokasi bahan baku dan juga pasar.
Pertimbangan penentuan lokasi industri berdasarkan skema ini, selain berfungsi untuk meminimalisasi biaya, juga untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang, dan mencegah ketidaknyamanan akibat terlalu lama membawa material produk yang lebih berat (Adisasmita, 2008; Setyanto & Irawan, 2016).
c) Teori Lokasi Sentral
Teori ini dipopulerkan oleh Walter Christaller pada tahun 1933. Teori ini membahas model hierarki perkotaan yang digambarkan dalam suatu sistem geometrik berbentuk heksagonal. Sistem geometri ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan lokasi ideal untuk dijadikan sebagai pusat pelayanan.
Penentuan pusat pelayanan dalam teori ini dipengaruhi oleh kondisi dua variabel penting, yaitu treshold dan range. Treshold merupakan nilai minimum (pendapatan/usaha) yang diperlukan pelaku ekonomi untuk menjaga stabilitas produksinya. Adapun range merupakan jarak maksimum yang harus ditempuh oleh penduduk untuk mendapatkan barang/jasa di lokasi sentral (Adisasmita, 2008; Berry & Garrison, 1958).
Lokasi sentral terbentuk akibat adanya interaksi antarwilayah perdagangan (pasar) yang digambarkan dalam bentuk lingkaran saling berhimpitan. Interaksi antar lingkaran tersebut selanjutnya menciptakan bidang heksagon (segi enam) yang lebih luas tanpa tumpang tindih. Apabila ditinjau secara horizontal, bidang heksagon ini menunjukkan sejumlah unit geografis yang bervariasi, mulai dari permukiman, pasar, hingga perkotaan.
Teori lokasi sentral mencoba menjelaskan pola geografis dan struktur hierarki pusat kota yang saling terhubung dalam satu sistem fungsional. Hal ini dapat diartikan bahwa lokasi sentral atau wilayah pusat akan memberikan pengaruh bagi wilayah penyangga. Pengaruh ini dapat berupa pengaruh yang positif dan negatif. Ada beberapa asumsi dasar yang dijadikan acuan dalam teori ini, antara lain:
- memiliki topografi wilayah yang datar
- mobilitas atau perpindahan dapat dilakukan ke segala arah,
- penduduk dan daya beli tersebar merata ke seluruh penjuru wilayah, serta
- pembeli mengutamakan jarak minimum untuk mencapai tujuan (Berry & Garrison, 1958; Setyanto & Irawan, 2016).
3) Teori Agropolitan
Teori agropolitan merupakan pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Secara etimologis, istilah agropolitan berasal dari dua kata, yaitu “agro” yang berarti pertanian dan “polis” yang berarti kota. Dengan demikian, agropolitan dapat diartikan pengembangan wilayah yang memadukan pembangunan pertanian sebagai aktivitas ekonomi pedesaan dengan sektor industri (Mahi, 2016; Nugroho & Widyagama, 2017).
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Friedman dan Douglass pada tahun 1978. Bermula dari pemikiran Myrdal yang mengemukakan perlunya penyebaran fasilitas secara merata untuk mengurangi ketimpangan regional antar wilayah desa dan kota. Konsep dasar dalam paradigma ini menitikberatkan pada penyediaan fasilitas yang setara dengan kota untuk kesejahteraan masyarakat desa. Pelayanan tersebut dapat berupa pelayanan kegiatan ekonomi, kegiatan sosial budaya, dan kehidupan sehari-hari. Pusat pelayanan ini memberikan keuntungan bagi petani karena dapat meminimalkan biaya produksi dan biaya pemasaran (Mahi, 2016; Adisasmita, 2008).
5. Pendekatan dan Arah Pengembangan Wilayah Nasional, Regional, dan Lokal
Indonesia memiliki wilayah yang luas. Berdasarkan Undang-undang no 29 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya terdiri 38 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.288 kecamatan, 7.4961 desa dan 8.506 kelurahan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Sementara jumlah penduduk tahun 2020 telah mencapai 273,5 juta jiwa dan akan terus bertambah pada waktu-waktu mendatang. Jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut tak pelak membutuhkan ruang baru untuk permukiman, industri, pertanian, dan keperluan wilayah lainnya.
a. Pendekatan Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah merupakan serangkaian proses yang berperan penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Pengembangan wilayah dapat ditinjau dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan spasial dan pendekatan sektoral.
1) Pendekatan Spasial
Pendekatan spasial berorientasi pada lokasi atau letak pengembangan suatu wilayah. Pendekatan spasial memperhatikan beberapa unsur wilayah, yaitu struktur keruangan, pemanfaatan lahan, dan keterkaitan antarwilayah.
a) Struktur keruangan
Struktur keruangan menggambarkan sistem pelayanan kegiatan dan jaringan infrastruktur yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah dan melayani fungsi kegiatan dalam suatu wilayah. Contohnya Kota Malang memiliki layanan kegiatan bagi warganya untuk kegiatan pendidikan (mulai PAUD hingga pendidikan tinggi), kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), ekonomi (pasar tradisional dan modern), serta kegiatan sosial rekreatif (lapangan dan tempat). Selain itu, memiliki jaringan jalan yang menghubungkan antar wilayah untuk kegiatan warga secara ekonomi, sosial, dan lain-lain.
b) Pemanfaatan lahan
Pemanfaatan lahan menggambarkan upaya memanfaatkan lahan untuk memperoleh hasil. Contohnya pemanfaatan lahan pertanian untuk pembangunan perumahan, pertokoan, dan perhotelan yang banyak terjadi di perkotaan.
c) Keterkaitan suatu wilayah dengan wilayah lain di sekitarnya
Keterkaitan antar wilayah menggambarkan jalinan jalan yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Contohnya Kota Malang telah terintegrasi dengan wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang. Ada jalan besar dan jalan kecil yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah sekitarnya, baik wilayah formal maupun wilayah nodal yang ada.
2) Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral merupakan suatu cara pandang bahwa seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas dasar sektorsektor yang berfokus pada aktivitas manusia (Mirza et al., 2017). Analisis pendekatan sektoral dilakukan secara mendalam dengan pertanyaanpertanyaan berikut.
• Sektor apa yang memiliki nilai keunggulan kompetitif dalam pasar global?
• Sektor apa yang bersifat basis dan nonbasis?
• Sektor apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi?
• Sektor apa yang banyak menyerap tenaga kerja?
Keempat pertanyaan tersebut menjadi panduan pengembangan sektorsektor yang akan dipilih, misalnya sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer dapat berupa pertanian, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. Sektor sekunder dapat berupa berbagai jenis industri, seperti industri pangan, pakaian, perumahan, industri berat, sedang, dan kecil. Sektor tersier dapat berupa sektor jasa, seperti jasa perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Selanjutnya setiap sektor dianalisis satu persatu secara lebih mendalam. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, kemudian ditetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi kegiatan peningkatan tersebut. Contoh untuk analisis sektor pertanian, dapat dibagi menjadi subsektor, seperti tanaman pangan, palawija, dan buah-buahan. Setiap subsektor memiliki komoditas masing-masing. Untuk masing-masing subsektor dapat diperinci lagi atas komoditas yang dominan. Contohnya untuk subsektor bahan makanan dapat diperinci atas komoditi beras, kacangan-kacangan, dan sayuran.
Implementasi pendekatan sektoral merupakan pelaksanaan pengembangan wilayah nasional yang merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dokumen tersebut memuat serangkaian kebijakan lintas sektoral yang dijadikan sebagai panduan dalam pelaksanaan pengembangan wilayah di Indonesia (Nur & Puspasari, 2015; Setneg RI, 2020).
b. Arah Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional, Regional, dan Lokal
Untuk pengembangan wilayah nasional diperlukan arah kebijakan. Secara nasional, ada lima arah kebijakan pengembangan wilayah, yaitu sebagai berikut (Setneg RI, 2020).
1) Pengembangan potensi ekonomi
Arah pengembangannya dilakukan melalui pemberdayaan pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan potensi unggulan yang terdapat di setiap wilayah.
2) Pembangunan konektivitas antar wilayah
Arah pengembangannya dilakukan dengan memperluas pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan ke wilayah penyangga di sekitarnya (hinterland).
3) Optimalisasi sumber daya manusia dan iptek
Arah pengembangannya dilakukan melalui pemberdayaan tenaga kerja untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri di masingmasing pusat pertumbuhan.
4) Peninjauan regulasi dan kebijakan
Arah pengembangannya dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan wilayah. Peninjauan regulasi dilakukan melalui serangkaian proses evaluasi dan perubahan regulasi yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi.
5) Peningkatan iklim usaha dan investasi
Arah pengembangannya dilakukan dengan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di kawasan strategis dengan melimpahkan kewenangan perizinan dari kepala daerah kepada Kepala PTSP.
Sejalan dengan pengembangan wilayah nasional, pelaksanaan pengembangan wilayah di tingkat regional juga mengacu pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen tersebut secara spesifik membahas mengenai kondisi spasial, ekonomi, potensi alam, demografis, dan sumber daya manusia yang terdapat di wilayah setempat serta rencana pengembangan wilayah yang akan dijalankan sesuai visi, misi, dan tujuan pembangunan (Ariadi, 2019).
Pelaksanaan pengembangan wilayah pada taraf lokal secara hierarkis mengacu pada dokumen perencanaan pembangunan wilayah administratif yang lebih besar. Sebagai contoh dalam perumusan RPJMD wilayah desa, meskipun diatur secara otonom, tetapi segala bentuk strategi dan arah pembangunan harus sesuai dengan visi dan misi wilayah administratif yang ada di atasnya, yaitu kabupaten/kota. Pengembangan wilayah yang sistematis akan mencegah terjadinya tumpang tindih kebijakan dan mendorong hubungan fungsional yang harmonis antarwilayah di Indonesia. Hubungan fungsional ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga wilayah perdesaan (Ariadi, 2019; Setyanto & Irawan, 2016).
6. Elemen dan Permasalahan Pengembangan Wilayah
a. Elemen Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah merupakan proses pembangunan yang melibatkan beberapa elemen. Ada tiga elemen utama pengembangan wilayah, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi.
1) Sumber daya alam
Secara umum pengembangan wilayah merupakan upaya pendayagunaan sumber daya alam untuk memperoleh nilai tambah bagi suatu wilayah. Dengan demikian, keberadaan sumber daya alam merupakan modal penting yang menentukan arah pengembangan suatu wilayah.
2) Sumber daya manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu modal utama dalam pembangunan. Manusia berperan sebagai stakeholder atau penggerak dalam proses pembangunan. Sumber daya manusia yang memadai akan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan suatu wilayah.
3) Teknologi
Teknologi dalam pengembangan wilayah berperan sebagai alat bantu untuk memudahkan proses pembangunan. Penggunaan teknologi yang tepat akan mendorong optimalisasi dan efisiensi dalam kegiatan pembangunan. Hal ini juga dapat berdampak pada minimalisasi waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan.
b. Permasalahan Pengembangan Wilayah
Dalam pembangunan nasional, pelaksanaan pengembangan wilayah ditekankan pada upaya-upaya strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil dan merata. Stabilitas ekonomi dan pemerataan pertumbuhan wilayah merupakan strategi pembangunan nasional yang selalu menjadi agenda dalam setiap periode pemerintahan. Hal ini karena Indonesia masih dihadapkan pada masalah kesenjangan antarwilayah dan permasalahan pembangunan lainnya, seperti infrastruktur jalan yang masih kurang memadai dan teknologi yang perlu peningkatan
Masalah kesenjangan antarwilayah terlihat dari kesenjangan wilayah barat dengan wilayah timur, kesenjangan wilayah Jawa dengan luar Jawa, serta kesenjangan wilayah kota dan desa. Wilayah Indonesia Barat memiliki infrastruktur wilayah yang lebih memadai daripada wilayah Indonesia Timur. Wilayah Jawa memiliki infrastruktur yang baik daripada wilayah luar Jawa.
Demikian juga wilayah perkotaan memiliki infrastruktur yang lebih lengkap daripada wilayah perdesaan.
Dengan banyak dan kompleksnya masalah pengembangan wilayah, maka diperlukan langkah yang terfokus pada pemecahan masalah pembangunan. Masalah-masalah isu strategis dalam pengembangan wilayah Indonesia di antaranya dirangkum dalam uraian berikut.
1) Persebaran sumber daya yang tidak merata
Ketidakmerataan persebaran sumber daya di Indonesia tercermin dari banyaknya produk unggulan dan lokasi strategis yang belum dikembangkan secara optimal. Hal ini dikarenakan lokasi potensial tersebut letaknya jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi sehingga informasi pasar dan teknologi pengembangan produk menjadi sulit untuk dijangkau (Dewi et al., 2011).
2) Pembangunan wilayah yang tidak seimbang
Pembangunan wilayah yang tidak seimbang tercermin dari pertumbuhan wilayah yang masif di kota-kota besar seperti di Jawa dan Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah-kecil, terutama di luar Pulau Jawa, masih berlangsung lambat. Ketidakseimbangan ini diperparah dengan adanya kesenjangan pembangunan yang mendorong urbanisasi tak terkendali.
3) Akses fasilitas antarwilayah yang kurang merata
Kondisi yang timpang dalam pembangunan wilayah nasional juga terjadi pada aspek pelayanan. Sejumlah infrastruktur dan lembaga pelayanan publik lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan (Sukwika, 2018).
4) Keterbatasan di wilayah-wilayah tertinggal
Wilayah-wilayah tertinggal merupakan subsistem yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemerataan pembangunan. Masyarakat di wilayah tertinggal umumnya cenderung kesulitan memperoleh akses informasi, pelayanan sosial, ekonomi, dan juga politik (Syahza & Suarman, 2018).
5) Kerusakan lingkungan dan krisis sumber daya alam
Permasalahan pengembangan wilayah selanjutnya ialah krisis sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Permasalahan ini timbul akibat adanya praktik pembangunan yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability), daya dukung lingkungan, dan kerentanan bencana di suatu wilayah. Dampak praktik pembangunan seperti ini memang memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memberikan potensi kerugian dan krisis lingkungan jangka panjang (Samli, 2012).
Permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan wilayah apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan hambatan bahkan gangguan bagi pelaksanaan pembangunan. Perlu adanya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi permasalahan tersebut. Ada beberapa strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari permasalahan tersebut. Berikut merupakan beberapa solusi yang dapat diterapkan.
1) Melakukan percepatan pembangunan wilayah strategis
Upaya percepatan pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh secara simultan akan mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya. Secara spesifik upaya ini menekankan pada pengembangan produk unggulan daerah sehingga mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan antarsektor pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat. Sinkronisasi ini adalah langkah penting dalam mendukung peluang usaha dan investasi di tingkat daerah (Firdaus, 2013).
2) Memprioritaskan pengembangan wilayah terpencil dan tertinggal
Implementasi pengembangan wilayah selain berfokus pada kawasan strategis dan cepat tumbuh, juga perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada wilayah terpencil dan tertinggal. Keberpihakan pemerintah pada wilayahwilayah ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhannya dapat terstimulasi lebih cepat dan ketertinggalan pembangunan di wilayah tersebut menjadi semakin berkurang (Syahza & Suarman, 2018).
3) Pengembangan jaringan prasarana dan sarana antarwilayah
Strategi ini memiliki fungsi untuk meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, dan peluang investasi antarwilayah. Hal ini secara langsung dapat menimbulkan keterkaitan yang positif antara wilayah yang maju, berkembang, dan terbelakang (Sukwika, 2018).
4) Menekan kesenjangan antarwilayah
Tujuan utama dari pengurangan kesenjangan antarwilayah ialah untuk menyetarakan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di lingkup lokal maupun nasional. Upaya pemerataan ini perlu memperhatikan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah (Sumirat, 2019).
5) Meningkatkan peluang interaksi ekonomi desa dan kota
Keterkaitan aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan dan perdesaan perlu ditingkatkan agar tercipta sinergi antarwilayah. Hubungan ini secara simultan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi nonagraris di wilayah perdesaan.
6) Mengembangkan sektor agroindustri padat pekerja untuk kawasan perdesaan
Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi sektor pertanian dan kelautan. Hal ini dapat pula didukung oleh peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan, pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat, peningkatan akses informasi, pemasaran, lembaga kesempatan kerja, dan teknologi. Selanjutnya pengembangan social capital dan human capital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja. Terakhir ialah intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak pada produk pertanian (Hariayanto, 2017).
7) Mengoptimalkan kebijakan tata ruang wilayah
Pengembangan wilayah perlu memperhatikan aspek penataan ruang yang tepat sehingga terjadi kesinambungan antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Kebijakan penataan ruang harus memuat arahan lokasi kegiatan, batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, serta efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan (Samli, 2012).