Istilah pembangunan tentu bukan hal asing bagi kalian. Istilah tersebut sering diperdengarkan dalam pemberitaan media massa atau percakapan seharihari di sekolah dan keluarga. Misalnya pembangunan jalan, gedung sekolah, gedung pemerintah, waduk, lampu jalan, sumur resapan, saluran irigasi, dan masih banyak lagi pembangunan fisik lainnya.
Tidak hanya pembangunan fisik, pembangunan nonfisik atau manusia juga sering kita dengarkan dari berbagai sumber. Misalnya ada istilah pembangunan manusia seutuhnya, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat, kesehatan, peningkatan kesadaran beragama, keterampilan big data, artificial intelligence, pembangunan demokrasi, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pembangunan tidak hanya menyangkut aspek fisik, tetapi juga aspek nonfisik. Apa arti pembangunan, teori dan paradigma pembangunan, aspek pembangunan, revolusi industri, dan kesejahteraan akan dibahas dalam bab ini.
1. Pengertian Pembangunan
Kata yang sering kali digunakan untuk menunjukkan pembangunan adalah perubahan. Namun, tentu tidak setiap perubahan dapat dikatakan pembangunan. Secara sederhana, perubahan yang mengarah pada kebaikan dari keadaan sebelumnya adalah pembangunan (constructive), sedangkan perubahan yang menuju keburukan lebih tepat disebut perusakan (destructive).
Beberapa definisi pembangunan menurut para ahli di atas menggambarkan bahwa (1) pembangunan merupakan suatu proses yang di dalamnya ada pertumbuhan, kemajuan, dan perubahan positif. Pembangunan mensyaratkan pertumbuhan, terutama pertumbuhan ekonomi yang positif dan juga kemajuan di berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain. (2) Pembangunan juga menggambarkan perubahan yang lebih menyeluruh. Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan nonfisik. (3) Pada ujungnya pembangunan bertujuan menyejahterakan kehidupan warga suatu bangsa dalam mencapai cita-cita.
Dari uraian di atas, pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan kehidupan suatu masyarakat. Kesejahteraan dan kemajuan menjadi dua titik penting yang hendak dicapai dalam pembangunan secara simultan. Sejahtera yang maju dan maju yang sejahtera merupakan gambaran di ujung pembangunan.
2. Paradigma Pembangunan
Setelah teori pembangunan kalian bahas, topik yang menantang selanjutnya adalah paradigma pembangunan. Seperangkat kepercayaan dasar yang menuntun dan mengarahkan tindakan yang perlu diambil berkaitan dengan ilmu pengetahuan disebut paradigma (Guba, 1990). Dalam pembangunan, paradigma memiliki fungsi yang penting sebagai kerangka pikir, tolok ukur, acuan, parameter, arah, dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu, paradigma pembangunan perlu dimiliki untuk menetapkan kebijakan arah pembangunan ke depan agar sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada dua paradigma pembangunan yang lazim digunakan pemerintah dalam membangun masyarakat. Pertama, paradigma pendekatan dari atas (top-down). Paradigma tersebut menghasilkan program-program yang memiliki tanggung jawab sosial yang hanya berfokus pada pelaksana (pemerintah dan lembaga terkait) serta kelompok tertentu. Sekalipun program atau rencana didasarkan pada “analisis kebutuhan” masyarakat, penilaian hanya berdasarkan survei dan penelitian yang tidak melibatkan masyarakat secara berarti. Pola pendekatan ini sering kali menimbulkan permasalahan, seperti terjadinya ketidakcocokan antara peneliti dengan pelaksana, masyarakat hanya berperan sebagai objek, serta ketidaktahuan masyarakat terkait proses pembangunan yang dilakukan (Parr, 2003). Selain itu, banyak menimbulkan persoalan seperti ketidakberhasilan program dan ketidaksesuaian dengan kebutuhan masyarakat lokal (Handoko, 2017). Paradigma pendekatan top-down ini semakin kurang digunakan dan masyarakat beralih menggunakan pendekatan yang lain.
Kedua, paradigma pendekatan dari bawah (bottom-up). Paradigma ini belakangan banyak diikuti pemerintah selaku pelaksana. Paradigma kedua ini berkembang pesat sejak rezim otoritarian mulai berjatuhan, digantikan rezim yang demokratis sekitar tahun 1990-an. Pendekatan paradigma ini merupakan modifikasi dan reaksi dari pendekatan pembangunan sebelumnya. Paradigma baru ini membuka peluang yang luas bagi pemerintah dan masyarakat untuk terlibat secara bersama-sama dalam proses pembangunan.
Paradigma bottom-up akan membantu tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga kesenjangan ekonomi dan sosial menjadi berkurang . Paradigma ini juga memberikan wadah penting dengan adanya forum “komunikasi pembangunan” sehingga pelaksana dapat melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Pemanfaatan forum dalam pendekatan ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan mengubah perilaku masyarakat untuk mencapai peningkatan kesejahteraan. Melalui pembangunan bottomup, forum “komunikasi pembangunan” dinilai lebih efektif dan memposisikan masyarakat sebagai subjek daripada sebagai target pembangunan/objek (Fardiah, 2005).
3. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan
Pembangunan merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis. Dalam skala besar, pembangunan nasional memiliki banyak aspek yang saling terkait di dalamnya. Ada aspek ekonomi, sosial, politik, pertahanan, dan keamanan yang saling terkait. Perwujudan pembangunan harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial yang kondusif, stabilitas politik, dan juga stabilitas pertahanan dan keamanan. Dalam skala kecil, pembangunan di lingkungan masyarakat setempat juga harus mempertimbangkan keadaan masyarakat, ketersediaan bahan material, tenaga kerja, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan cara pandang/pendekatan yang tepat dalam mewujudkan pembangunan.
Ada beberapa pendekatan pembangunan yang dapat dipilih untuk mewujudkan pembangunan. Dalam buku ini disajikan empat pendekatan pembangunan, yaitu pembangunan berwawasan kependudukan, pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan pembangunan berpusat pada manusia. Keempat pendekatan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a. Pembangunan Berwawasan Kependudukan (Population Based Development)
Pendekatan Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK) adalah pembangunan sumber daya manusia. Pendekatan berbasis kependudukan berorientasi pada partisipasi penduduk dan peningkatan kualitas penduduk sebagai tujuan pembangunan. Dengan peningkatan kualitas penduduk sebagai sumber daya manusia yang besar, maka akan menekan laju pertambahan penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Peningkatan kualitas penduduk akan meningkatkan pendapatan negara (GNP) untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan kelaparan (Tjiptoherijanto, 2000).
PBK menempatkan penduduk sebagai titik sentral. Penduduk menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan. Pembangunan lebih menekankan pada peningkatan sumber daya manusia dibandingkan dengan peningkatan infrastruktur semata-mata. Pembangunan berwawasan kependudukan itu sendiri merupakan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini rakyat merupakan penduduk yang berpengaruh terhadap pembangunan Jalal, 2014).
1) Latar Belakang Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Permasalahan kependudukan yang terjadi di negara berkembang bersifat kompleks dan multidimensional. Persoalan kependudukan masih berbelit-belit antara pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas, pembangunan keluarga, persebaran, dan pengarahan mobilitas penduduk. Permasalahan lain yang turut serta ialah administrasi kependudukan dengan dinamika pembangunan, seperti kemiskinan, pemenuhan pangan, pembukaan lapangan kerja, kesenjangan sosial, dan pengendalian dampak lingkungan. Tanpa perhatian dan perencanaan yang memadai, upaya pembangunan dalam mencapai perbaikan kesejahteraan penduduk kemungkinan terancam gagal.
Berbagai temuan empiris menunjukkan bahwa kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas penduduknya, bukan oleh kekayaan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, aspek kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Program kependudukan perlu diintegrasikan dan disinergikan dalam semua aspek pembangunan. Berdasarkan kenyataan ini, sudah waktunya untuk memulai pembangunan yang berpusat pada penduduk. Sebagai motor penggerak pembangunan, negara harus mampu menentukan arah yang tepat bagi pembangunan berwawasan kependudukan (Sintong, 2013). Sementara itu, penduduk harus dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang akan menentukan arah dan bentuknya.
2) Tujuan Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Pembangunan berwawasan kependudukan dianggap sebagai upaya untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Melalui pembangunan ini diharapkan dapat mewujudkan penduduk yang maju, mandiri, dan sejahtera yang memiliki hidup selaras dan seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan (Nurkholis, 2018). Beberapa harapan yang menjadi tujuan adanya pembangunan berwawasan kependudukan sebagai berikut.
• Produktivitas: produktivitas penduduk berkaitan dengan human capital yang dimiliki dan investasi manusia dilakukan untuk meningkatkan human capital itu sendiri.
• Pemerataan: penduduk memiliki kesempatan untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial dengan porsi yang sama. Hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihilangkan.
• Kesinambungan: pembangunan yang dilakukan dapat mencukupi kebutuhan saat ini dan juga masa depan.
• Pemberdayaan: penduduk memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam keputusan dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka.
3) Dampak Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Tujuan pembangunan berwawasan kependudukan adalah untuk mengembangkan bakat yang kompetitif. Pembangunan berwawasan kependudukan berjalan dengan baik ketika program yang dilaksanakan pemerintah memprioritaskan pendekatan dari bawah ke atas. Pendekatan bergerak artinya program-program yang dilaksanakan ialah program-program yang mendukung masyarakat, khususnya masyarakat desa. Pembangunan berwawasan penduduk memungkinkan untuk mengatur pertumbuhan penduduk. Program-program yang ada tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi. Perkembangan model ini dirasakan pada program-program yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Lembaga dari pemerintah pusat atau desa memberikan pelayanan kesejahteraan sosial yang mengutamakan kesehatan dan produktivitas masyarakat.
4) Implementasi Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan, maka harus diciptakan suatu kondisi masyarakat yang sudah mampu menerapkan perilaku hidup yang berwawasan kependudukan. Masyarakat berwawasan kependudukan maksudnya meyakini bahwa fertilitas, mortalitas, dan migrasi harus dipertimbangkan dengan saksama melalui penalaran akal dan hati nurani agar dapat memberi makna yang berguna bagi kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Perilaku hidup berwawasan kependudukan merupakan tata nilai/norma yang dianut dalam hidup dan diharapkan menjadi karakter bagi setiap individu dalam masyarakat. Perilaku hidup berwawasan kependudukan merupakan penunjang pembangunan berwawasan kependudukan (Usman, 2017).
Kebijakan dan strategi yang dapat ditempuh ialah mengaktifkan program Keluarga Berencana (KB) dengan meningkatkan pelayanan yang terjangkau dan berkualitas. Caranya melalui sosialisasi kebijakan pengendalian kependudukan, mendorong kemandirian KB, serta meningkatkan pemberdayaan dan mobilisasi masyarakat. Program prioritas yang dapat dilaksanakan melalui advokasi dan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), peningkatan program KB, program kesehatan reproduksi remaja, program ketahanan dan pemberdayaan keluarga, serta peningkatan sistem keluarga kecil yang berkualitas.
Pembangunan yang berwawasan kependudukan memerlukan strategi pembangunan dari bawah ke atas. Melalui pendekatan ini, tujuan utama dari keseluruhan proses pembangunan ialah untuk mendistribusikan kesejahteraan penduduk secara lebih merata daripada mengutamakan tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan bottom-up bertujuan mengoptimalkan alokasi sumber daya yang ada dan potensial di seluruh wilayah dan mengembangkannya sesuai dengan potensi dan masalah spesifik yang dihadapi masing-masing wilayah.
Studi pembangunan berwawasan kependudukan ini dapat dilihat di Desa Sumberjaya, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Kegiatan program KB meliputi kegiatan advokasi dan KIE, pelayanan konseling KB, serta pertemuan berkala kelompok kegiatan atau poktan (Andhiki et al., 2020). Namun, implementasinya belum optimal karena beberapa alasan sebagai berikut.
• Sumber daya manusia yang menjadi pelaksana dari program sangat minim.
• Kebijakan yang diberikan kurang spesifik sehingga dukungan dana kurang untuk mencapai target.
• Sarana operasional yang terbatas, seperti sarana prasarana tidak cukup menampung jumlah masyarakat yang banyak.
b. Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Environmental Based Development)
Pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan bukanlah pendekatan yang asing didengar. Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan berwawasan lingkungan. Kita mengenal pendekatan ini sebagai konsep pembangunan yang sangat memperhatikan kondisi alam dan menjaganya agar tetap lestari.
Pembangunan mengandung dua konsep penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup dengan prioritas masyarakat miskin. Kedua, gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Pembangunan berwawasan lingkungan memerlukan keterpaduan dan koordinasi yang matang antara pemanfaatan sumber daya manusia, sumber daya buatan, dengan sumber daya alam yang menopangnya. Hal terpenting dalam pelaksanaan pembangunan ialah lingkungan yang berfungsi sebagai penopang pembangunan.
Definisi pembangunan berwawasan lingkungan telah banyak dijelaskan. Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas hidup (Rosana, 2018).
Selaras dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana menggunakan serta mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pembangunan ini harus dilakukan dengan mengelola dan memanfaatkan sumber daya dengan memperhatikan faktor lingkungan hidup, di samping meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Rosana, 2018).
1) Latar Belakang Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Kemajuan ilmu teknologi yang terjadi selama revolusi industri memberikan kesejahteraan bagi manusia. Namun, hasil itu juga harus dibayar mahal dengan dampak buruk yang mengganggu kelestarian lingkungan. Pertumbuhan industri terbukti membuat pencemaran limbah dan erosi pada tanah pertanian yang menyebabkan terjadinya proses penggaraman atau penggurunan pada lahan produktif.
Pertumbuhan industri yang besar-besaran memang memberikan keuntungan untuk banyak pihak, terutama manusia. Dampak positifnya ialah adanya gedung-gedung yang menjadi lokasi kegiatan industri berlangsung telah menyediakan lapangan kerja, mengurangi masalah kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan pendapatan negara, dan sebagainya. Namun, pertumbuhan industri juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya pencemaran air, udara, dan tanah. Pencemaran air dan tanah yang disebabkan oleh limbah industri (sampah anorganik dan zat-zat kimia) dari sisa proses produksi dan dibuang secara sembarangan (Rahmat, 2014).
Alasan munculnya istilah pembangunan berwawasan lingkungan berkaitan dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh manusia (industri, pertambangan, transportasi, dan pertanian). Untuk menjaga alam dan lingkungan yang menjadi penopang kehidupan, maka dibutuhkan upaya agar dapat menjaga kelestarian alam seiring dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber dayanya. Kebijakan yang dapat dilakukan ialah kebijakan dengan pembangunan berwawasan lingkungan seiring dengan upaya pendayagunaan sumber daya alam yang tetap mempertahankan aspekaspek pemeliharaan dan pelestarian lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan diharapkan menjadi pembangunan berkelanjutan yang dapat mengoptimalkan sumber daya, baik alam maupun manusia dengan cara menyeimbangkan keduanya (Bappeda, 2015).
2) Tujuan Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya membangun dengan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan memperhatikan perlindungan dan pengembangannya. Mengelola lingkungan hidup harus didasarkan pada pelestarian dan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang agar pembangunan berjalan secara berkesinambungan dengan peningkatan kesejahteraan manusia. Tujuan pembangunan berwawasan lingkungan adalah agar masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam tidak merusak lingkungan. Sumber daya alam adalah penopang bagi kehidupan manusia yang kelestariannya perlu dijaga sehingga kebutuhan dalam pemenuhan dapat terus berkelanjutan (Pratiwi, 2018).
Pembangunan berwawasan lingkungan dilaksanakan tidak hanya berjalan begitu saja. Pembangunan dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih baik. Berikut beberapa tujuan dalam pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan.
• Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
• Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
• Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
• Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
• Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan yang melindungi lingkungan hidup.
• Terjaminnya kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
• Terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
• Terlindunginya wilayah Indonesia dari pengaruh negatif pembangunan, seperti pencemaran tanah, air, dan udara.\
3) Dampak Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan yang dilakukan dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang baik tentu akan memberikan hasil yang baik. Kehidupan akan memiliki mutu yang lebih baik dari aspek lingkungan, alam, dan manusianya. Tujuan pembangunan berwawasan lingkungan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa mengganggu kelestarian alam. Berikut beberapa dampak atau manfaat pembangunan berwawasan lingkungan.
• Mencegah terjadinya kerusakan yang besar. Misalnya memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam agar selalu dalam jumlah yang cukup, kualitas lingkungan yang baik, serta bertahan lama.
• Memulihkan sumber daya alam terutama tiga gatra (udara, air, dan tanah). Misalnya menggunakan pupuk organik agar kesuburan tanah terjaga dan meningkat.
• Meningkatkan kualitas lingkungan yang berkaitan dengan kelangsungan kualitas hidup.
• Memberikan pola pemanfaatan sumber daya alam altenatif ke depan. Misalnya penggunaan kendaraan listrik bebas emisi.
• Memaksimalkan pembangunan yang berkelanjutan. Misalnya menumbuhkan solidaritas antargenerasi. Artinya kesejahteraan dari sumber daya alam yang tersedia saat ini bisa diwariskan untuk kesejahteraan generasi di masa mendatang.
4) Implementasi Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan memberi keimbangan perhatian, tidak hanya pada lingkungan fisik, tetapi juga pada aspek perekonomian dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, implementasi pembangunan berwawasan lingkungan harus memberi hasil dengan bentuk kemakmuran rakyat, kelestarian fungsi, dan keseimbangan lingkungan hidup (Jazuli, 2015).
Bentuk implementasi pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan reboisasi, menanam pohon, dan membiasakan gerakan bersih lingkungan. Pada masa Orde Baru, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan kebijakan dari pemerintah yang digaungkan kepada seluruh masyarakat. Pada prosesnya, pembangunan berwawasan lingkungan ini harus mampu menyesuaikan ketiga komponen (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi) agar berfungsi secara berkesinambungan.
Salah satu bentuk implementasi dari pembangunan berwawasan lingkungan ada di Jawa Barat. Kota Summarecon Bekasi dapat dikatakan sebagai ikon kawasan hunian dan komersial terbaik di Bekasi. Sejalan dengan penggunaan teknologi, Summarecon Bekasi mengedepankan kualitas hidup warganya dengan memenuhi kebutuhan kualitas udara yang baik. Hal itu dilakukan melalui penanaman pohon sebanyak 8.793 untuk 1.680 unit Hunian Landed (Landed House/Rumah Tapak) yang terbangun. Summarecon sendiri telah menanam 8.885 pohon untuk lingkungannya. Jumlah pohon yang ditanam itu mampu memenuhi kebutuhan oksigen lebih dari 16.000 jiwa, yang saat ini dapat dinikmati oleh hampir 11.000 warga yang menempati Summarecon Bekasi. Keberadaan taman di sekitar turut memberikan keasrian dan kesejukan sehingga kualitas hidup penghuni bisa terjamin (Riski, 2021).
c. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pembangunan berkelanjutan bukan sebuah isu baru bagi kalian. Sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya tujuan pembangunan yang berjalan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Seiring dengan munculnya dampak lain yang ditimbulkan dari sistem pembangunan yang tidak tepat, pembangunan berkelanjutan menjadi pembahasan penting untuk menciptakan pembangunan yang tetap menjaga dan mempertahankan fisik dan biologis alam sebagai sektor penting dari proses pembangunan.
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang dihadiri lebih dari 100 kepala negara dan 178 perwakilan pemerintah nasional. KTT tersebut menandai upaya internasional pertama untuk menyusun rencana aksi dan strategi untuk bergerak menuju pola pembangunan yang lebih berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan solusi untuk masalah degradasi lingkungan yang dibahas oleh Komisi Brundtland dalam laporan Our Common Future pada 1987.
Pembangunan berkelanjutan berarti pembangunan yang memiliki keberlangsungan jangka panjang, lintas generasi, dan berupaya menyediakan sumber daya dan lingkungan yang sehat, serta cukup untuk menunjang kehidupan. Konsep pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan kesadaran mengenai tatanan sosial dalam masyarakat dengan tujuan kepentingan ekonomi. Konsep pembangunan berkelanjutan harus memiliki nilai ekonomi, moral, dan ekologi. Sebagai generasi masa kini, kita mempunyai tanggung jawab moral terhadap alam dan generasi yang akan datang. Bentuk tanggung jawab moral kita adalah dengan memberikan kesempatan generasi mendatang kesempatan yang sama untuk menikmati pembangunan berkelanjutan (Pawlowski, 2008).
Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang terjadi pada generasi saat ini jangan sampai mengorbankan generasi yang akan datang dalam hal kesejahteraan sosial yang lebih rendah. Konferensi Stockholm di Swedia menghasilkan 21 konsep pembangunan berkelanjutan yang menguraikan dua hal mendasar tentang pemanfaatan sumber daya alam. Pertama, hak berdaulat terhadap sumber daya alam yang bersifat lintas batas negara. Kedua, keterkaitan eksploitasi sumber daya (yang menjadi bagian dari kegiatan pembangunan) dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (Gionidas, 2015).
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang menyangkut seluruh aktivitas investasi, eksploitasi sumber daya, pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan berada dalam keadaan selaras yang mampu meningkatkan potensi untuk generasi masa kini dan masa depan dalam memenuhi kebutuhan. Proses perubahan ini sebagai wujud strategi yang mempertimbangkan pola pembangunan dengan sumber daya alam yang dimanfaatkan serta kesejahteraan bagi generasi masa kini dan masa mendatang. Oleh karena itu, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus diupayakan dengan keberlanjutan.
1) Latar Belakang Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan berakar dari gagasan mengenai keberlanjutan dalam pengelolaan hutan yang dikembangkan di Eropa sepanjang abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Pengelolaan hutan yang berakibat pada eksploitasi berlebihan menyebabkan menipisnya sumber daya kayu di wilayah Inggris (Michelsen et al., 2016). Akibat kerusakan itu, muncul suatu pendapat tentang kegiatan menabur dan menanam pohon sebagai sebuah kewajiban nasional bagi setiap pemilik tanah dengan tujuan untuk mengurangi bahkan menghentikan eksploitasi berlebihan yang merusak sumber daya alam.
Pada tahun 1713, Hans Carl von Carlowitz, seorang manajer pertambangan menerbitkan buku berjudulSylvicultura Oeconomica, berisi tentang pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Von Carlowitz, 2013). Dia berpendapat bahwa kayu akan sama pentingnya dengan makanan sehari-hari yang harus digunakan dengan hati-hati untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan kayu dan penebangan yang dilakukan. Ini akan memungkinkan penggunaan yang terus-menerus. Pendapat tersebut diikuti dengan munculnya pendekatan dalam pengelolaan hutan yang didorong dengan gagasan penggunaan sumber daya alam yang bijaksana yang kemudian disebut dengan Laporan Brundtland.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali secara sah diperkenalkan sebagai tujuan sosial dalam Konferensi Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pertama di Stockholm pada tahun 1972. Latar belakang konferensi ini dipicu oleh kekhawatiran global tentang kemiskinan yang berkepanjangan dan meningkatnya ketidakadilan sosial. Kekhawatiran ditambah dengan kebutuhan pangan serta munculnya masalah lingkungan global dan kesadaran bahwa ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas untuk mendukung pembangunan ekonomi (Keiner, 2005). Pada tahun 1980, Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam mengumumkan Strategi Konservasi Alam Dunia yang memasukkan salah satu referensi pertama untuk pembangunan berkelanjutan sebagai prioritas global dan memperkenalkan istilah “pembangunan berkelanjutan”. Dua tahun kemudian, Piagam Dunia PBB untuk Alam menetapkan lima prinsip konservasi untuk mengarahkan dan menilai perilaku manusia yang memengaruhi alam. Dalam Laporan Brundtland membahas salah satu definisi pembangunan berkelanjutan yang paling banyak digunakan saat ini.
Sejak adanya Laporan Brundtland, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang melebihi kerangka antargenerasi yang terfokus pada tujuan “pertumbuhan ekonomi yang inklusif secara sosial dan berkelanjutan secara lingkungan”. Konferensi PBB tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan menerbitkan Piagam Bumi. Piagam tersebut menguraikan pembangunan masyarakat global secara adil, berkelanjutan, dan damai di abad ke-21. Selanjutnya rencana Agenda 21 untuk pembangunan berkelanjutan mengidentifikasi beberapa hal seperti informasi, integrasi, dan partisipasi untuk membantu negara-negara dalam mencapai pembangunan yang didasarkan pada pilar-pilar yang saling bergantung. Hal ini menekankan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan setiap orang menjadi pengguna dan penyedia informasi.
2) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) lahir dari adanya Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro pada tahun 2012. Tujuan dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk menghasilkan serangkaian tujuan universal yang memenuhi tantangan lingkungan, politik, dan ekonomi yang dihadapi dunia kita. SDGs berperan dalam menggantikan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs), yang dimulai pada tahun 2000 untuk mengatasi masalah kemiskinan. Warisan dan pencapaian MDGs yang telah berjalan memberikan pengalaman dan pelajaran berharga untuk mulai bekerja dengan tujuan baru. MDGs belum selesai. Melalui SDGs, tugas kita adalah bekerja keras untuk mengakhiri kelaparan, mencapai kesetaraan gender, meningkatkan pelayanan kesehatan, dan menyekolahkan setiap anak di luar sekolah dasar. SDGs juga menjadi sebuah seruan mendesak untuk mengubah dunia ke jalur yang lebih berkelanjutan (Lisbet et al., 2013).
SDGs adalah komitmen yang berani untuk menyelesaikan apa yang kita mulai, dan mengatasi beberapa tantangan yang lebih mendesak yang dihadapi dunia saat ini. Semua tujuan dalam SDGs saling terhubung, artinya kesuksesan dalam satu tujuan mempengaruhi kesuksesan tujuan lain. Berurusan dengan ancaman perubahan iklim berdampak pada bagaimana kita mengelola sumber daya alam kita yang rapuh, mencapai kesetaraan gender atau kesehatan yang lebih baik, membantu memberantas kemiskinan, dan mendorong perdamaian dan masyarakat yang inklusif akan mengurangi ketidaksetaraan dan membantu ekonomi menjadi makmur. Singkatnya, ini adalah kesempatan terbesar yang kita miliki untuk meningkatkan kehidupan generasi mendatang.
SDGs bertepatan dengan kesepakatan bersejarah lainnya yang dicapai pada 2015 di Konferensi Iklim Paris (COP21). Bersama dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, yang ditandatangani di Jepang pada Maret 2015, perjanjian ini memberikan seperangkat standar umum dan target yang dapat dicapai untuk mengurangi emisi karbon, mengelola risiko perubahan iklim dan bencana alam, dan untuk membangun kembali dengan lebih baik setelah krisis. SDGs unik karena mencakup isu-isu yang memengaruhi kita semua. Mereka menegaskan kembali komitmen internasional kita untuk mengakhiri kemiskinan secara permanen di mana-mana. Mereka ambisius dalam memastikan tidak ada yang tertinggal. Lebih penting lagi, mereka melibatkan kita semua untuk membangun planet yang lebih berkelanjutan, lebih aman, dan lebih sejahtera bagi seluruh umat manusia (Bappeda, 2016).
3) Dampak Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang dapat memberikan solusi bagaimana dunia bekerja dengan merencanakan kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Ada tiga hal yang menjadi prioritas keberlanjutan, yaitu planet di urutan pertama, manusia di urutan kedua, dan produksi di urutan ketiga. Pembangunan berkelanjutan yang dilakukan dengan benar akan menciptakan ketahanan lingkungan. Manfaat lain dari pembangunan berkelanjutan adalah membantu manusia mengurangi pemborosan dan memangkas biaya. Misalnya, dengan pertanian berkelanjutan akan membantu kita mengurangi pemborosan hasil pertanian, yang bisa mencapai 40 persen. Pembangunan berkelanjutan di bidang infrastruktur juga dapat membantu memenuhi kebutuhan layanan esensial masyarakat seperti jembatan, jalan, dan pembangkit listrik tenaga air. Dampak positif dari pembangunan adalah dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, baik dari segi kualitas fisik, turunnya angka kematian, serta meningkatkan angka kesejahteraan (Salim, 1980).
Selain memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa mengecilkan kesempatan orang lain, pembangunan berkelanjutan juga mencakup permasalahan yang lebih luas, seperti kemajuan ekologi, kehidupan sosial, dan ekonomi yang sangat penting bagi kemakmuran sosial semua orang. Meskipun mengakui bahwa kemajuan besar telah dicapai sejauh ini, tetapi kelemahannya secara keseluruhan masih merupakan faktor manusianya. Pembangunan yang cepat di beberapa negara berkembang telah mengurangi standar hidup yang tinggi yang memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan ini menyabot inklusivitas, perlindungan sosial, bahkan pembangunan berkelanjutan karena mengurangi minat dalam sistem kesehatan dan kerangka kerja pelatihan dalam menyeimbangkan stabilitas keuangan dan politik.
Meskipun dinamika populasi yang tumbuh cepat dapat meningkatkan pasar tenaga kerja, hal itu juga memunculkan ketidaksetaraan yang semakin luas, baik di negara berkembang maupun negara maju. Urbanisasi yang semakin luas, pertumbuhan penduduk membengkak, dan penuaan penduduk juga meningkat pesat di negara-negara tertentu yang dapat menyebabkan tekanan signifikan pada infrastruktur nasional, keuangan publik, pendidikan, dan sistem perawatan kesehatan, mengakibatkan pengeksploitasian yang tinggi terhadap sumber daya alam dan akan cenderung mengabaikan aspekaspek lingkungan hidup. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka akan membutuhkan lahan untuk melakukan aktivitas dalam menunjang kehidupan dan memanfaatkan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidup. Eksploitasi yang berlebihan terhadap potensi alam akan menimbulkan dampak bagi kelestarian SDA dan fungsi lingkungan itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa kekeringan, pencemaran (air, tanah, udara), bencana alam (banjir, tanah longsor, dan sebagainya), serta kerusakan lainnya (Astuti & Purnomo, 2021).
4) Implementasi Pembangunan Berkelanjutan
Penerapan pembangunan berkelanjutan sudah merupakan suatu kebutuhan. Agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan telah mengubah paradigma pembangunan yang lazim hingga saat ini. Tiga komponen pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) harus membentuk satu kesatuan yang seimbang.
Adapun pondasi utama dalam pembangunan ialah kreativitas, warisan, pengetahuan, dan keragaman. Pondasi ini disebut dengan budaya. Budaya menjadi modal pengetahuan dalam sektor kegiatan ekonomi untuk membantu mendorong keberlanjutan, melalui pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan yang inklusif dan seimbang, yang beriringan dengan membangun perdamaian dan keamanan. Kegiatan budaya, dari produk, jasa, dan warisan memiliki nilainya sendiri melalui identitas, makna, dan nilai bagi kehidupan manusia sehingga menjadi dimensi yang tak terpisahkan (Asmin, 2018).
d. Pembangunan Berpusat pada Manusia (People Center Development)
Pembangunan berpusat pada manusia ini disebut juga dengan pembangunan berpusat pada masyarakat (people center development). Pembangunan yang berpusat pada manusia lebih menekankan kepada pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilakukan untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi rasa percaya diri dan harga dirinya, harkat dan martabat, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya yang telah ada. Pemberdayaan dilakukan sebagai konsep sosial budaya yang diwujudkan dalam pembangunan berpusat pada manusia.
Melalui pemberdayaan manusia diharapkan mampu menciptakan sumber kehidupan rumah tangganya dan secara langsung dapat mengejar pembangunan nasional yang diprogramkan sebagai suatu upaya mencapai kesejahteraan. Konsep pembangunan berpusat pada manusia lebih memandang pada inisiatif kreatif sebagai sumber daya pembangunan utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan proses pembangunan (Korten, 1993).
Pembangunan yang berpusat pada manusia adalah pendekatan pembangunan yang berfokus pada peningkatan kemandirian, keadilan sosial, dan pengambilan keputusan partisipatif terhadap masyarakat lokal. Fokus sentral proses pembangunan adalah meningkatkan perkembangan dan kesejahteraan manusia, persamaan dan sustainability (keberlanjutan). Pada proses ini pemerintah berperan sebagai fasilitator. Pemerintah berperan dalam menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensinya lebih besar. Pembangunan yang berpusat pada manusia lebih mengedepankan pada partisipasi manusia dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program pembangunan yang menyangkut hajat hidup mereka sendiri (Purwowibowo et al., 2018).
1) Latar Belakang Pembangunan Berpusat pada Manusia
Pemahaman tentang pembangunan yang berpusatkan pada manusia muncul karena adanya pemahaman tentang ekologi manusia yang menjadi pusat perhatian pembangunan. Peran dan perilaku manusia sebagai bagian dari makhluk hidup dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia sehingga pengkajian dipusatkan pada manusia (baik sebagai individu maupun sebagai populasi) dalam ekosistem. Seluruh manusia, baik itu generasi sekarang maupun mendatang, haruslah menjadi yang utama dalam pembangunan. Pembangunan tidak boleh menyingkirkan sebagian atau besar masyarakat demi segelintir yang lain (Hikmat, 2014).
Pembangunan harus berpusat pada manusia dan proses pembangunan harus menguntungkan semua manusia yang terlibat. Dalam konteks ini, kita perlu mengatasi masalah kemiskinan, kelompok rentan, dan meningkatnya pengangguran. Ini adalah masalah besar karena dapat menyebabkan ketidakstabilan dengan efek samping seperti hubungan sosial yang longgar serta nilai-nilai dan hubungan antarmanusia yang melemah. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara adil tanpa mengecualikan masyarakat miskin. Di samping itu, untuk mempromosikan inklusi sosial serta politik berdasarkan hak asasi manusia, larangan diskriminasi, dan perlindungan bagi yang kurang mampu. Ini adalah inti dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia.
2) Tujuan Pembangunan Berpusat pada Manusia
Pembangunan yang berpusat pada manusia tentu memiliki tujuan melakukan perubahan dengan fokus tujuan ada pada manusia itu sendiri. Pembangunan model ini bertujuan mempertinggi tingkat partisipasi masyarakat, komunikasi, kelompok masyarakat adat, perempuan, anak-anak, dan lain-lain. Memandang remaja dan anak-anak sebagai peserta aktif dalam segala bentuk kegiatan dalam menemukan solusi konstruktif. Pembangunan model ini memberikan manusia kesempatan untuk mengembangkan kepandaian yang kreatif bagi masa depannya sendiri dan masa depan masyarakat. Pembangunan berpusat pada manusia ini dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap birokrasi, lebih menjamin pertumbuhan kapasitas mandiri masyarakat menuju pembangunan berkelanjutan, dan menciptakan masyarakat yang lebih maju (Sudarmanto, et al., 2020).
Pembangunan yang berpusat pada manusia, dalam arti tradisi budaya saat ini, memiliki tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang yang memiliki keinginan dan harapan, baik individu maupun kelompok. Sasaran objektif dari strategi pembangunan yang berpusat pada manusia pada hakikatnya adalah pengentasan kemiskinan, terwujudnya keadilan yang merata, dan peningkatan partisipasi masyarakat yang signifikan. Pertama dan terutama, daerah tertinggal dan kelompok sosial berisiko terkena dampak. Kelompok yang terkena dampak termasuk perempuan, anak-anak, pemuda kurang mampu, orang tua, dan kelompok terpinggirkan lainnya.
3) Dampak Pembangunan Berpusat pada Manusia
Selain memandang manusia sebagai masyarakat, pembangunan model ini memandang manusia sebagai fokus utama dan sumber utama pembangunan di segala bidang. Perubahan dalam masyarakat terjadi di semua bidang, yaitu bidang politik, bahasa, kesenian, hiburan, dan terutama di bidang ekonomi. Model pembangunan yang berpusat pada manusia ini kini telah dibingkai dengan bentuk yang disebut revolusi mental. Sebuah upaya yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia pada zaman yang terus berkembang (saat ini). Revolusi mental yang diintegrasikan oleh sebuah pembangunan berbasis masyarakat mengubah pola hidup dengan cara yang tidak biasa dalam kehidupannya (Mahadiansar et al., 2020).
Salah satu hasil dari pengembangan model ini adalah dimulainya pemberdayaan dengan memberikan motivasi, pelatihan keterampilan, dukungan bisnis, nasihat bisnis, dan pendapatan bagi perempuan. Dampak dari model pembangunan ini dianggap tidak signifikan, baik pada tingkat kemakmuran maupun ekonomi lokal. Untuk mencapai tujuan model ini, pemerintah sebagai fasilitator perlu menyediakan program-program pendukung untuk memaksimalkan pembangunan. Identik dengan gerakan penguatan kepribadian untuk membangkitkan jiwa kehidupan yang baru, seperti revolusi spiritual Indonesia (Sadjuri, 2010)
4) Implementasi Pembangunan Berpusat pada Manusia
Model pembangunan yang berpusat pada manusia dilakukan dengan adanya empowerment (pemberdayaan). Salah satu strategi yang dikembangkan dalam konsep PCD (People Centered Development) yang menekankan pemberdayaan pada masyarakat adalah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM). Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 42/ HUK/2004 membahas tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat. WKSBM merupakan sistem kerja sama yang terjadi antarmasyarakat dalam bentuk kelompok atau lembaga (RT, RW, kelompok usaha ekonomi produktif, kelompok tani, kelompok pengajian, dasawisma, dan lain-lain). Kelompok atau lembaga yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat lokal, yang dapat menumbuhkan interaksi lokal dalam pelaksanaan tugas.
WKSBM dapat disebut sebagai investasi sosial pembangunan dengan tujuan mensejahterakan anggotanya termasuk menyelesaikan masalah sosial di masyarakat. Masyarakat dapat menyelesaikan masalah melalui kegiatan terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan, baik secara individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga tercipta kesejahteraan sosial. Wahana ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Kegiatan WKSBM meliputi pertemuan rutin atau tertentu melalui jaringan kerja sama. Wahana ini juga mendukung penyelenggaraan penghimpunan dana sosial (dana kematian, arisan, jimpitan beras, dan lain-lain) yang ada di masyarakat. Komitmen, pengetahuan, dan keterampilan dari pengurus WKSBM menjadi faktor keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya. Upaya penguatan dan pendampingan kepada pengelola WKSBM dilaksanakan oleh dinas sosial dan kelurahan secara berkelanjutan sebagai pembina fungsional dan teknis kegiatan WKSBM (Dinsos, 2019).
Salah satu implementasi WKSBM ini ada di Desa Jetis, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Salah satu bentuk kegiatan WKSBM yang diusung oleh Dinas Sosial DIY adalah pengumpulan beras. Kegiatan pengumpulan beras ini dilakukan hampir setiap bulan dari masing-masing RT setiap ada pertemuan, misalnya rapat atau arisan. Beras yang dikumpulkan tersebut akan dibagi di setiap minggu awal bulan kepada lansia yang berhak menerima dan membutuhkan. Jumlah pendistribusian beras yang dilakukan WKSBM ini berjumlah 2,5 kg beras yang diberikan minimal setiap dua bulan sekali. Pembagian beras dilakukan secara bertahap, tetapi mengutamakan 25 orang setiap pembagian beras (Sumariyanti, 2017).
Beralih pada pembangunan yang berpusat pada masyarakat yang diupayakan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Salah satu elemen pekerjaan tata kelola UNDP ialah memastikan bahwa suara dan kebutuhan masyarakat biasa didengar dan diperhatikan, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok yang terpinggirkan atau rentan. Misalnya, di negara Laos, Kementerian Informasi dan Kebudayaan bekerja sama dengan UNDP. Kerja sama ini untuk mendirikan stasiun radio komunitas pertama di negara itu di distrik Khoun yang mengudara dalam tiga bahasa yang digunakan oleh kelompok etnis yang berbeda. (UNDP, 2011)
Stasiun radio Khoun menyiarkan pengumuman layanan masyarakat dan program tentang berbagai masalah sosial seperti kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, atau topik keselamatan seperti persenjataan. Akibatnya, distrik tersebut mengalami tingkat vaksinasi yang lebih tinggi, lebih banyak kelahiran dengan bantuan medis, dan adopsi metode pertanian baru dan lebih baik. Pemerintah sekarang berencana untuk mereplikasi stasiun radio komunitas serupa di masing-masing 47 kabupaten termiskin di Laos dan telah meminta bantuan UNDP. Sementara itu, UNDP telah mendanai dua stasiun baru di tenggara negara itu dengan rencana untuk mendukung empat stasiun lagi (UNDP, 2011).
4. Indikator Keberhasilan Pembangunan
Indikator keberhasilan pembangunan sangat penting kalian ketahui sebagai warga negara. Secara kuantitatif, tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun, pada hakikatnya keberhasilan pembangunan dapat diatur dengan beberapa indikator selain indikator ekonomi. Berikut akan dijabarkan indikator-indikator keberhasilan pembangunan.
a. Pertumbuhan Ekonomi
Sebuahparadigma pembangunan yang berkembang saat ini ialah pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara dapat dikatakan maju atau meningkat, pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut dapat dikatakan berhasil (Fitriyani & Rasaili, n.d.). Aspek yang diukur dalam pertumbuhan ekonomi ialah produktivitas masyarakat ataupun produktivitas negara setiap tahunnya yang diukur dengan besarnya Gross National Product (GNP) negara yang bersangkutan.
GNP mengukur hasil produksi keseluruhan dari suatu negara yang jumlah penduduk setiap negara berbeda-beda. Agar dapat membandingkan keadaan pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan negara lainnya, digunakan income per kapita (GNP dibagi dengan jumlah penduduk) (Fuady, 2013). Dengan menggunakan cara tersebut, dapat dilihat seberapa besar produksi atau pendapatan rata-rata setiap orang.
Indikator pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara. Namun, timbul kelemahan dalam pendekatan per kapita karena pendekatan ini mengabaikan adanya perbedaan karakteristik antarnegara, seperti struktur umur penduduk, perbedaan nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang yang lain, distribusi pendapatan masyarakat, dan kondisi sosial budaya.
b. Pemerataan Distribusi Pendapatan (Rasio Gini)
Rasio Gini digunakan sebagai salah satu cara mengukur keberhasilan pembangunan. Menurut Todaro (dalam Fuady, 2013), rasio Gini adalah sebuah ukuran ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan keseluruhan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) sampai satu (ketimpangan sempurna). Jika rasio Gini melampaui angka 0,5, artinya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan sudah masuk kategori buruk dan mudah menimbulkan masalah sosial.
Ketimpangan distribusi pendapatan dapat terjadi saat terdapat sekat antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin yang semakin melebar. Segelintir orang hidup kaya raya di mana-mana, tetapi masih banyak pula orang yang hidup dalam garis kemiskinan, kesehatan buruk, kekurangan gizi, dan sebagainya. Maka dari itu, mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari proses pembangunan bukan lagi menitikberatkan pada aspek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi bagaimana mengurangi angka kemiskinan serta ketimpangan (Arsyad, 2020).
c. Indeks Kualitas Hidup (IKH)
Indeks kualitas hidup (physical quality of life index) adalah satu indikator alternatif dalam mengukur kinerja pembangunan suatu negara. Ada tiga indikator yang dijadikan acuan IKH, yaitu tingkat harapan hidup pada usia satu tahun (life expectancy at age), tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf (literacy) (Arsyad, 2020). Di dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan angka kematian bayi dapat menggambarkan status gizi ibu dan anak, derajat kesehatan, serta lingkungan keluarga yang langsung berasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf bisa menggambarkan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan sebagai hasil pembangunan.
Masing-masing indikator tersebut mengukur kinerja pembangunan suatu negara berdasarkan skala 1 sampai 100. Angka 1 artinya kinerja pembangunan terburuk dan angka 100 untuk kinerja pembangunan yang terbaik (Fuady, 2013). IKH digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
5. Dampak Pembangunan Wilayah terhadap Perubahan Ruang Muka Bumi
a. Perubahan Muka Bumi sebagai Dampak Pembangunan
Pembangunan merupakan perubahan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Ada berbagai jenis perubahan fisik alam yang harus diubah agar dapat berfungsi secara lebih optimal dalam memenuhi fungsinya. Sebagai contoh pembangunan Bendungan Sutami di Malang, Jawa Timur. Pembangunan bendungan tersebut mengubah kenampakan Sungai Brantas menjadi bendungan. Jika semula bentuk muka bumi di wilayah tersebut berupa Sungai Brantas yang curam, kini penampakan itu berubah menjadi bendungan dengan hamparan air yang luas dengan multifungsi, sebagai penyedia air untuk pertanian, energi listrik, bahkan pariwisata. Fenomena yang sama banyak dijumpai di wilayah lain di Indonesia, seperti Bendungan Jatiluhur di Jawa Barat, Bendungan Gajah Mungkur di Jawa Tengah, Bendungan Asahan di Sumatra yang diikuti perubahan-perubahan bentuk di muka bumi.
Tidak hanya pembangunan bendungan yang mengubah bentuk muka bumi. Ada pembangunan lain yang telah mengubah muka bumi. Pembangunan kawasan industri yang terjadi di banyak tempat. Di Jawa Timur, pembangunan kawasan industri di Mojokerto telah mengubah kawasan pertanian menjadi kawasan industri. Hal serupa juga terjadi di tempat yang lain.
b. Perubahan Muka Bumi sebagai Dampak Interaksi Antarruang
Dewasa ini pemerintah gencar melakukan pembangunan infrastruktur jalan. Tidak hanya pembangunan jalan tol, tetapi juga jalan-jalan umum yang menghubungkan antar desa, desa dengan kota, antarkota, dan bahkan antarprovinsi. Misalnya Jalan Tol Trans-Jawa telah menghubungkan banyak daerah di Pulau Jawa, dari wilayah barat hingga timur. Demikian pula perbaikan kualitas dan pelebaran jalan-jalan umum yang menghubungkan wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Pembangunan infrastruktur jalan tersebut telah meningkatkan mobilitas penduduk antarwilayah. Jumlah penduduk yang bepergian untuk kegiatan bisnis atau sekedar berkunjung mengalami peningkatan secara drastis, bahkan sering menimbulkan kemacetan. Aktivitas antar wilayah yang semakin meningkat tersebut dapat berdampak positif tumbuhnya aktivitas ekonomi industri dalam skala besar maupun kecil yang mengubah bentuk muka bumi. Area-area yang semula berupa pertanian dapat berubah menjadi area industri, bisnis ekonomi, maupun pemukiman penduduk.
Banyak area di suatu wilayah telah tumbuh berubah dari bentuk asalnya sebagai dampak dari interaksi antarruang. Banyak area di wilayah pedesaan berubah bentuknya menjadi area bisnis, aktivitas perdagangan, atau industri. Sebagai contoh pembangunan Jembatan Nasional Suramadu. Jembatan ini menjadi sarana mobilitas penduduk yang besar, terutama harihari raya. Aktivitas penduduk melewati jembatan tersebut telah mengubah area-area sekitarnya di Madura berubah menjadi area perdagangan dari area pertanian. Demikian pula pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa (1.056,38 km), Tol Jabodetabek (298,71 km), Tol Trans-Sumatera (684,5 km), dan lain-lain. Pembangunan jalan cepat tersebut telah diikuti perubahan bentuk muka bumi sebagai akibat timbulnya aktivitas ekonomi penduduk.
c. Perubahan Muka Bumi sebagai Dampak Bencana
Bumi akan selalu mengalami perubahan setiap waktu. Perubahan ini diakibatkan faktor alam ataupun faktor manusia. Faktor alam seperti fenomena pergerakan lempeng, gunung meletus, tsunami, gempa, curah hujan yang tinggi, longsor, dan lain-lain. Adapun faktor manusia seperti adanya pembangunan yang tidak mempertimbangkan kondisi alam, pemanfaatan sumber daya berlebihan, dan lain-lain. Kedua faktor ini sangat berpengaruh terhadap perubahan muka bumi.
Perubahan muka bumi yang diakibatkan oleh faktor alam juga menjadi ancaman bencana besar bagi Indonesia. Tingginya risiko bencana ini menjadikan aksi pengurangan risiko bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan. Upaya penanggulangan bencana merupakan tantangan dan tanggung jawab besar yang harus digerakkan dengan strategi yang terstruktur, sistematis, terukur, dan berkelanjutan. Strategi penanggulangan bencana dimulai dari penerapan sistem peringatan dini dengan teknologi tepat guna, penilaian dan pemetaan risiko bencana untuk menentukan wilayah prioritas penanganan dan berisiko tinggi (Agung, 2018).
Tantangan besar bagi negara kita untuk dapat mencapai pembangunan di samping tingginya risiko bencana. Risiko ini dilihat dari kondisi Indonesia yang memiliki 317 daerah rawan banjir tinggi, 127 gunung berapi aktif, 3 lempeng aktif, dan lain-lain. Lalu, bagaimana Indonesia mengambil kebijakan untuk pembangunan?
Negara kita berupaya untuk meningkatkan ketahanannya terhadap bencana. Indonesia Multi Donor Fund Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR) merupakan salah satu aksi nyata yang telah diupayakan. IMDFF-DR didirikan untuk melengkapi program penanggulangan bencana pemerintah pada tahun 2009. Upaya ini untuk pemulihan mata pencaharian masyarakat, mendukung pembangunan kembali ekonomi daerah, memperkuat ketahanan individu terhadap bencana di masa depan, dan rekonstruksi pemukiman (Vun et al., 2018).
Keberhasilan pembangunan di Indonesia juga terletak pada pendekatan yang digunakan. Fokus pendekatan ini berada pada komunitas dan masyarakat lokal untuk proses pembangunan kembali. Keberhasilan ini dilihat dari upaya pemulihan di Jawa pasca gempa bumi tahun 2006 di Yogyakarta, di Nias dan Aceh setelah tsunami Samudra Hindia 2004, dan di Pangandaran pasca tsunami. Bahkan Bank Dunia juga ikut membantu dalam proses rekonstruksi permukiman berbasis masyarakat ini (Vun et al., 2018). Bencana-bencana alam tersebut telah turut mengubah bentuk muka bumi dari bentuk asalnya. Misalnya peristiwa gempa bumi di Palu. Peristiwa itu telah mengubah kenampakan muka bumi di Palu.